Berita  

Ratep Mensa, Warisan Budaya Aceh yang Hampir Terlupa

Gema Sufi dari Tanah Beutong

Ratep Mensa menyambut Idul Fitri 1446 H di Gampong Kuta Teungoeh, Beutong Ateuh, (Foto dokumentasi Tgk. Malikul Mahdi untuk Lentera.news)

Aceh – Di tengah derasnya arus modernisasi, tradisi budaya yang pernah menjadi denyut kehidupan masyarakat Aceh perlahan mulai memudar. Salah satu warisan yang kini semakin jarang dijumpai adalah Ratep Mensa, pagelaran zikir massal khas masyarakat barat selatan Aceh yang biasa digelar menjelang Hari Raya Idulfitri.

Ratep Mensa dilaksanakan oleh kaum pria dewasa dan pemuda. Dengan berdiri dalam barisan saf, mereka bersilang tangan (meulhoek jaroe) dan saling berhadapan, mengikuti perubahan formasi yang selaras dengan irama syair zikir yang dilantunkan. Seorang syekh atau tokoh agama memimpin jalannya zikir yang penuh kekhusyukan, menjadikan kegiatan ini sebagai perpaduan antara ekspresi spiritual dan pertunjukan budaya.

Diiringi shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. dan pujian kepada Allah Swt., lantai papan meunasah atau balai bergetar oleh hentakan kaki para peserta hingga larut malam. Suara gemuruh yang tercipta menambah kekhidmatan, menghadirkan suasana sakral yang membekas di hati para jamaah dan penonton.

Namun, seiring waktu, tradisi ini mulai tergerus zaman dan kini hanya bertahan di beberapa wilayah yang masih memegang erat akar budayanya. Salah satu daerah yang masih mempertahankan Ratep Mensa adalah Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya. Di Kecamatan ini, tradisi tersebut digelar secara rutin setiap menyambut Idulfitri.

Menurut Tgk. Malikul Mahdi, tokoh muda Beutong Ateuh sekaligus putra bungsu ulama kharismatik Tgk. Bantaqiah, Ratep Mensa di daerahnya biasa dimulai pada malam Idulfitri setelah takbiran. Dalam beberapa kesempatan, pelaksanaannya sudah dimulai sejak malam ke-27 Ramadan usai salat Tarawih.

“Kami melakukannya secara bergiliran antar-gampong, biasanya tujuh malam berturut-turut, sesuai hasil musyawarah masyarakat. Untuk Idul Fitri tahun ini digelar di Gampong Kuta Teungoeh,” tuturnya kepada media ini, Senin, 14 April 2025.

Pada acara pembukaan Ratep Mensa di Beutong, kegiatan diawali dengan pembakaran kemenyan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menciptakan aroma wangi, tanpa unsur mistik.
“Di daerah kami tidak ada gaharu. Yang mudah didapat hanyalah kemenyan karena pohonnya sangat banyak tumbuh di hutan Beutong, yang peuphoen Ratep Mensa biasanya abang saya, Tgk. Malikul Azis,” ujarnya.

Bagi masyarakat Beutong, Ratep Mensa adalah simbol kebersamaan, spiritualitas, dan kekayaan budaya. Tradisi ini menjadi wadah penghayatan nilai-nilai religius yang tercermin dalam gerakan, lantunan zikir yang menggema, serta kekuatan vokal para pesertanya.

“Tujuan utama Ratep Mensa adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, meraih syuhud atau pandangan mata hati, mengenal Allah lebih dalam, serta merasakan kenikmatan berzikir hingga terlepas dari belenggu duniawi,” jelas Tgk. Malikul Mahdi.

Lebih lanjut, ia mengatakan, Ratep Mensa tak hanya memperkuat hubungan vertikal dengan Sang Pencipta, tapi juga merekatkan ukhuwah Islamiyah antarwarga. Melalui zikir kolektif dan gerakan yang terkoordinasi, para peserta merasakan getaran spiritual bersama—pengalaman batin yang tak mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

“Saat pelaksanaan dilakukan, komunitas masyarakat saling bahu-membahu menyiapkan balai, perlengkapan suara, hingga konsumsi. Semangat gotong royong yang terbangun mempererat hubungan antar-gampong dan menumbuhkan rasa kebersamaan.”

Syair-syair yang dilantunkan dalam Ratep Mensa pun sarat makna. Bukan sekadar untaian kata, tetapi rangkaian nilai spiritual dan filosofi kehidupan. Terdiri dari syair berbahasa Arab dan Aceh, lirik-lirik tersebut mengangkat tema ketauhidan, makrifat, tasawuf, hingga kisah heroik Prang Sabi, perjuangan mempertahankan keyakinan dan jati diri.

Sepenggal bait syair dalam Ratep Mensa tentang Prang Sabi yang dibacakan oleh Tgk. Malikul Mahdi saat diwawancarai media ini berbunyi:

Ya Qahhar, Ya Qawiy, neupeutalo sitre nabi,
Kaphe benci keu Islam, neupekaram neucang mate.”

Dengan nada yang berirama dan penuh penghayatan, syair-syair tersebut mengajak pendengarnya merenungi makna hidup, keesaan Tuhan, serta perjalanan spiritual menuju pemahaman yang lebih dalam akan hakikat keberadaan.

Dia mengungkapkan, suasana penuh kehangatan dan kebersamaan mewarnai penutupan acara Ratep Mensa. Panitia menyembelih kambing sebagai bentuk rasa syukur, lalu mengolahnya untuk disantap bersama dalam sebuah kenduri yang sarat keakraban.

“Semoga Ratep Mensa menjadi pengingat akan pentingnya menjaga warisan budaya di tengah tantangan zaman. Sebab di dalamnya tersimpan identitas keacehan yang kental, serta nilai-nilai universal tentang kebersamaan dan kemanusiaan.”

Matee Aneuk meupat Jeurat, Matae Adak Pat tajak Mita”

Di wilayah Beutong Ateuh, tradisi Ratep Mensa sempat mengalami masa kevakuman sebelum direvitalisasi kembali oleh Teungku Bantaqiah, pada era 1970-an.
“Yang membawa Ratep Mensa ke Beutong adalah almarhum Abu sekitar tahun 70-an. Hingga sekarang, Ratep Mensa terus kami lestarikan dengan baik,” tutup Tgk. Malikul Mahdi.

Penulis : Zamanhuri