Meurah Mulia – Setiap musim panen berakhir, Gampong Rayeuk Paya Itek berbisik lewat doa. Kenduri Jeurat bukan hanya tradisi, melainkan napas panjang para leluhur yang mengalirkan rindu dari tanah kepada langit.
Minggu pagi, 27 April 2025, mentari memancarkan cahaya keemasan di atas persawahan Kecamatan Meurah Mulia. Di Gampong Rayeuk Paya Itek, denyut budaya berpadu dalam irama gotong royong. Di bawah langit biru, masyarakat setempat sibuk mempersiapkan sebuah hajatan sakral Kenduri Jeurat, tradisi lama yang terus berdenyut dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Di tanah kuburan Lampoh Nibong, suasana tampak hidup. Sebagian warga mendirikan tenda tempat digelarnya doa, sementara yang lain sibuk menyiapkan dapur umum di luar area pekuburan. Aroma bumbu yang menguar dari kawah raksasa seolah menjadi pengantar rasa syukur dan pengingat akan jejak para leluhur. Tahun ini, kenduri terasa lebih semarak. Dua ekor sapi yang dipotong hasil swadaya masyarakat menjadi saksi nyata solidaritas yang tetap hangat di tengah perubahan zaman.
Seminggu sebelumnya, warga bergotong royong membersihkan tanah kuburan, mengumpulkan dana, dan menyiapkan segala kebutuhan. Tak hanya warga Gampong yang hadir. Mereka yang berasal dari luar kecamatan, bahkan dari kabupaten lain, turut berduyun-duyun kembali. Seolah ada panggilan batin yang tak bisa ditolak, sebuah ikatan ruhani dengan tanah kelahiran dan dengan mereka yang telah lebih dulu berpulang.
Pelaksanaan Kenduri Jeurat di Aceh memang beragam. Ada yang melaksanakannya selepas Iduladha, ada pula selepas Idulfitri, biasanya antara hari kedua hingga hari ketujuh, tergantung keputusan rapat adat desa. Namun di Rayeuk Paya Itek, waktu pelaksanaan dipilih selepas musim panen. Sebuah pilihan yang sarat makna rasa syukur atas rezeki dari sawah, dan penghormatan kepada roh para pendahulu.
“Tradisi ini tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, tetapi juga sebagai ungkapan syukur atas segala rezeki yang kami terima dari Allah SWT,” ujar Pon, salah seorang warga yang turut terlibat dalam persiapan.
Tak tercatat pasti kapan kenduri ini bermula. Tapi dalam sanubari masyarakat Aceh, Kenduri Jeurat diyakini telah berlangsung sejak berabad silam. Ia hidup dari lisan ke lisan, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara dunia yang fana dan yang abadi.
Di sela-sela keramaian, hadir pula wajah-wajah dari jauh. Seperti Tgk. Nazaruddin (48 tahun), perantau asal Meurah Mulia yang kini bermukim di Aceh Timur. Setiap tahun, ia tak pernah absen pulang untuk kenduri. “Rasanya aneh kalau tidak datang. Ini soal rasa, soal panggilan jiwa,” katanya, matanya berkaca-kaca. “Di sini kami diajarkan, sekalipun jasad telah berpisah, doa tetap menjembatani kasih,” kenangnya.
Kenduri yang digelar di Gampong Rayeuk Paya Itek bukanlah sekadar sebuah tradisi yang dilaksanakan begitu saja. Menurut Abu Bakar, seorang tokoh masyarakat yang dihormati di desa tersebut, kenduri lebih dari sekadar acara sosial atau adat. “Kenduri ini bukan sekadar adat, ini napas kita,” ucap Abu Bakar dengan penuh perasaan, saat memberikan penjelasan tentang makna mendalam di balik acara tersebut.
Bagi Abu Bakar, kenduri merupakan sarana yang mengikat kehidupan sosial masyarakat, menyatukan mereka dalam satu tujuan yang lebih besar, yaitu menjaga hubungan spiritual dengan leluhur dan orang-orang tercinta yang telah mendahului. “Selama doa masih terucap di tanah ini, selama itulah kita terhubung dengan orang-orang yang kita cintai, meski mereka telah tiada,” tambahnya dengan suara yang berat, seolah meresapi setiap kata yang diucapkan.
Bagi masyarakat Gampong Rayeuk Paya Itek, kenduri jeurat bukan sekadar pertemuan untuk menikmati hidangan bersama. Ia adalah momen untuk mengenang jasa dan doa bagi arwah para leluhur, untuk menghormati mereka yang telah memberikan warisan budaya dan nilai-nilai kehidupan yang tetap hidup dalam diri setiap generasi. Doa yang dipanjatkan di setiap kesempatan, terutama dalam kenduri, diyakini menjadi penghubung antara yang hidup dan yang telah meninggal, sebuah tali silaturahmi yang tak terputuskan oleh waktu.

Acara kenduri ini, dengan segala tradisinya, juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan antar warga, memperkuat rasa kebersamaan, dan melestarikan nilai-nilai adat yang sudah ada sejak dahulu. Abu Bakar meyakini bahwa selama masyarakat tetap menjaga tradisi ini, maka ikatan batin mereka dengan yang telah tiada akan terus terjaga, memberikan kekuatan dan ketenangan bagi yang masih hidup.
“Tradisi ini mengingatkan kita akan pentingnya rasa syukur, persatuan, dan kasih sayang antar sesama,” ujar Abu Bakar lagi. “Inilah napas kita, yang tak akan pernah padam.” Kata-kata itu seakan menjadi peneguhan bagi seluruh warga yang hadir, bahwa kenduri bukan hanya soal makan bersama, tetapi sebuah pengingat akan pentingnya mengenang dan menghargai setiap perjalanan hidup, baik yang telah berlalu maupun yang sedang dijalani.
Pemerhati budaya Aceh, Hamdani Ceubrek, menjelaskan bahwa kenduri jeurat merupakan sebuah tradisi yang sangat penting dalam masyarakat Aceh, yang tidak hanya sekadar sebuah jamuan atau perayaan, melainkan juga sebagai sarana untuk mengenang dan mendoakan arwah orang tua, keluarga, serta sanak saudara yang telah meninggal dunia. Bagi masyarakat Aceh, kenduri jeurat adalah momen yang sarat dengan makna spiritual dan emosional.
Menurut Hamdani, inti dari kenduri jeurat bukanlah kemeriahan acara atau jamuan yang disajikan, melainkan doa bersama yang dipanjatkan dengan penuh ketulusan dan harapan.
“Doa-doa itu melangit dari mulut-mulut yang tulus, dari hati yang penuh rindu, seraya berharap agar para ruh mendapat ketenangan abadi,” ujarnya.
Masyarakat Aceh, melalui kenduri jeurat, tidak hanya sekadar mengenang orang yang telah meninggal, tetapi juga mempererat tali silaturahmi antar keluarga dan kerabat. Ini adalah waktu bagi mereka untuk berkumpul, berbagi cerita, dan merayakan kehidupan yang telah berlalu, sambil tetap menjaga nilai-nilai kebersamaan dan saling mendoakan.
“Kenduri jeurat merupakan salah satu cara masyarakat Aceh untuk mempertahankan tradisi mereka yang kaya akan makna religius dan sosial. Dalam setiap doanya, masyarakat berharap agar kehidupan setelah mati menjadi lebih tenang dan damai, serta agar hubungan dengan yang telah meninggal tetap terjaga melalui doa dan ingatan yang tulus,” tutup Hamdani.