Website milik instansi pemerintah di Aceh Utara lebih mirip etalase barang antik—berdebu, statis, dan tak terurus. Bukan cuma situs RSU Cut Meutia yang macet pembaruannya, laman-laman Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK) lainnya pun turut tertinggal zaman. Informasi kedaluwarsa masih terpampang, sementara kabar terbaru seolah tak pernah ada. Di era serba digital, kelalaian ini tak bisa dianggap remeh. Ia mencerminkan cacat serius dalam manajemen komunikasi publik.
Minimnya pembaruan di portal-portal resmi SKPK memperlihatkan betapa lemahnya komitmen birokrasi dalam membangun transparansi dan keterbukaan informasi. Padahal, di tengah tuntutan efisiensi anggaran dan akuntabilitas pelayanan, website seharusnya menjadi sarana utama untuk menyampaikan kebijakan, program, dan capaian kerja.
Keluhan bukan hanya datang dari warga daerah. Seorang mahasiswa asal Aceh yang kini menempuh pendidikan di Jakarta mengaku kerap kecewa saat mengakses situs pemerintah daerah. Ia berharap memperoleh informasi mutakhir, namun yang dijumpai hanya arsip lama dan tampilan seadanya.
“Website pemerintah seharusnya menjadi rujukan utama masyarakat dalam memperoleh informasi yang akurat dan resmi,” ujarnya kepada Lentera.News, Senin (23/6/2025).
Kekecewaan itu beralasan. Dalam praktik ideal, situs resmi pemerintah bukan hanya papan pengumuman virtual, tapi kanal informasi yang dinamis dan representatif. Ia menjadi wajah digital daerah—jendela tempat masyarakat, diaspora, hingga investor membaca geliat kemajuan suatu wilayah. Ketika wajah itu kusam, maka citra daerah pun ikut meredup.
Contoh paling nyata adalah sepinya pemberitaan mengenai pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-35 tingkat Kabupaten Aceh Utara yang baru saja usai. Perhelatan akbar itu melibatkan peserta dari seluruh kecamatan dan menelan anggaran miliaran rupiah. Ironisnya, nyaris tak ada jejak digital acara tersebut di laman-laman dinas terkait seperti Dinas Syariat Islam atau Dinas Dayah. Padahal, di sinilah momentum syiar dan kebanggaan daerah seharusnya dikabarkan ke publik luas.
Abainya SKPK terhadap publikasi digital ini bukan hanya menyia-nyiakan anggaran, tapi juga menunjukkan gagalnya birokrasi memahami pentingnya dokumentasi dan komunikasi. Ketika kegiatan besar seperti MTQ tak terdengar gaungnya, bukan masyarakat yang apatis, tapi negara yang absen menyapa warganya.
Problem ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Perlu perombakan menyeluruh dalam tata kelola informasi publik di Aceh Utara. Pemerintah daerah mesti menyiapkan sumber daya manusia yang profesional, memperkuat infrastruktur digital, dan membangun budaya kerja yang peka terhadap kebutuhan informasi publik. Pelatihan bagi pengelola web di setiap SKPK bukan lagi pilihan, tapi keharusan.
Visi mulia Bupati Ayahwa—Panyang, untuk membangkitkan Aceh Utara tidak akan terwujud hanya lewat pidato dan baliho. Ia menuntut kerja birokrasi yang cerdas, lincah, dan berintegritas. Sebab visi sebesar apa pun tak akan mampu terbang bila didukung oleh mesin pemerintahan yang pincang. Seperti burung dengan sayap patah, ia hanya bisa mengepak di tempat—berisik, tapi tak pernah benar-benar melesat.
Kini sudah sepantasnya Bupati Aceh Utara melakukan reformasi birokrasi, menjadikan dinas bukan sekadar kantor administrasi, tapi pusat pelayanan publik yang hidup, responsif, dan memberi manfaat nyata. Aceh Utara bisa bangkit—tapi hanya bila ia rela memulihkan sayap-sayapnya terlebih dahulu.