Berita  

Menjaga Imajinasi di Tengah Gempuran Digital: Suci Ramadhani dan Dunia Komik Kartun Animenya

Suci Ramadhani sedang menulis komik, Minggu (29/6/2025).

Lhokseumawe – Siang itu, Minggu 29 Juni 2025, langit cerah menyelimuti Gampong Uteungkot Cunda, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe.
Dari sebuah teras rumah yang tak jauh dari Masjid Al-Hikmah, terdengar suara lirih gesekan pensil di atas kertas—ritme lembut yang mengiringi ketekunan seorang remaja perempuan. Ia duduk bersila, tenggelam dalam sketsa yang perlahan menjelma gambar. Sesekali matanya terangkat, menatap langit-langit dengan pandangan kosong yang dalam—seolah sedang bercakap dengan imajinasi yang menari-nari di kepalanya. Di tangannya, dunia kecil penuh warna tengah dilahirkan.

Dia adalah Suci Ramadhani, 13 tahun, seorang santriwati yang juga dikenal sebagai penulis sekaligus ilustrator komik amatir—dengan ciri khas tokoh bergaya kartun anime, mirip karakter Kanglim dari serial Shinbi’s House yang ia kagumi.

Berbeda dengan teman-temannya yang tenggelam dalam gawai, menjelajahi konten digital atau permainan daring, Suci memilih menyelami dunia gagasannya sendiri. Dalam setiap guratan, ia menciptakan tokoh-tokoh anak muda yang berjuang dalam keseharian: tentang belajar, persahabatan, dan kisah-kisah kecil yang mengandung pesan besar.

“Kalau menggambar, aku bisa bikin dunia sendiri. Tokohnya seperti Kanglim, tapi versiku—nggak ada hantu, lebih ke cerita tentang anak yang rajin belajar, saling bantu, dan nggak nyerah kalau gagal,” katanya lirih sambil memperlihatkan sebuah cuplikan komik.

Dalam panel-panel sederhana namun penuh ekspresi itu, tampak seorang siswa dimarahi gurunya karena melanggar aturan sekolah. Alih-alih berdalih, siswa tersebut justru dengan tegas menyatakan kesiapannya untuk bertanggung jawab.

“Aku akan menabung untuk menggantinya… diberi hukuman pun tidak apa-apa,” jawab tokoh dalam komik itu, dengan ekspresi tenang dan mata yang penuh penyesalan.

Di panel selanjutnya, kepala sekolah menimpali dengan penuh kekaguman:

“Nah gitu dong, tahu kamu adalah anak yang bertanggung jawab atas perbuatanmu sendiri!”

Sementara itu, siswa hanya menunduk, tersipu malu dan bergumam, “Bu… buk kepsek…”

Penggalan cerita dari salah satu komik buatan Suci Ramadhani

Dalam panel di halaman 47 ini, Suci menggambarkan nilai tanggung jawab dan kejujuran melalui karakter bergaya anime yang terinspirasi dari tokoh Kanglim dalam serial “Shinbi’s House”.

Komik ini menggambarkan dunia anak-anak dari sudut pandang yang ringan, lucu, namun sarat makna. Suci menyisipkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, keberanian, dan semangat memperbaiki diri dalam setiap cerita. Dalam dunia ciptaannya, anak-anak menjadi tokoh utama yang tak hanya lucu, tapi juga inspiratif.

Minatnya pada dunia gambar sudah muncul sejak usia prasekolah. Menurut sang ayah, Hamdani, dulu dinding rumah mereka sering penuh coretan tokoh-tokoh buatan Suci. “Kami dulu marah karena tembok jadi penuh gambar,” kenangnya sembari tertawa. “Tapi lama-lama kami sadar, dia bukan mencoret, dia sedang bercerita.”

Sejak itu, Hamdani dan istrinya mulai memberikan ruang lebih luas pada imajinasi anaknya. Buku gambar, pensil warna, dan beberapa majalah kartun dibelikan meski dengan pengorbanan. Suci pun mulai membaca komik dan buku cerita yang ia temukan di perpustakaan sekolah. Salah satu tokoh yang paling ia sukai adalah Kanglim Choi—tokoh protagonis dalam animasi Shinbi’s House.

“Aku suka Kanglim karena dia tenang, kuat, dan selalu bantu temannya. Tapi aku ubah ceritanya jadi lebih nyata—misalnya, Kanglim versiku jadi anak sekolah yang suka tolong teman dan suka belajar,” jelas Suci sambil membuka lembaran gambar lain

Kini Suci menempuh pendidikan di Dayah Ulumuddin, sebuah pesantren di Lhokseumawe. Di sela waktu belajar Al-Qur’an dan pelajaran agama, ia tetap menyempatkan diri menulis dan menggambar. Biasanya setelah Subuh atau sebelum tidur malam, ia akan membuka map plastik tempat ia menyimpan komik-komiknya.

“Kadang aku gambar di belakang kertas bekas. Yang penting bisa terus bikin cerita,” ujarnya, sambil memperlihatkan puluhan komik yang berisi tokoh-tokoh anime versinya sendiri.

Gaya gambarnya tidak kalah dari komik Korea atau Jepang. Meski belum berwarna dan masih sederhana, garis dan ekspresi wajah yang ia buat menunjukkan kepekaan dan ketekunan.

Beberapa temannya sudah mulai mengidolakan karyanya. “Kak Suci kalau gambar selalu bagus. Tokohnya kayak Kanglim, tapi bajunya kayak kita, pakai baju sekolah,” ujar salah seorang teman sekamarnya. “Ceritanya kadang lucu, kadang bikin sedih.”

Bagi Suci, membuat komik bukan cuma menyalurkan hobi. Ia merasa menggambar dan menulis membuatnya lebih tenang dan percaya diri. “Kalau capek belajar, aku gambar. Rasanya seperti ngobrol sama tokoh-tokohku sendiri,” katanya pelan.

Meski belum memiliki peralatan digital, Suci percaya bahwa keterbatasan bukan halangan. Ia bertekad suatu hari nanti akan menerbitkan komik karyanya sendiri, dicetak dan dijual di toko buku.

“Aku ingin buat komik yang bisa dibaca anak-anak di seluruh Indonesia. Isinya cerita sehari-hari yang bisa bikin semangat belajar dan nggak nyerah,” tuturnya dengan mata berbinar.

Suci Ramadhani menunjukkan puluhan komik buatannya, Minggu (29/6/2025).

Hamdani, ayah Suci, sangat mendukung mimpi anaknya. “Kami ingin dia tumbuh jadi anak yang tetap percaya pada imajinasinya, walau dunia sekarang makin sibuk sama teknologi,” katanya.

Di tengah gempuran dunia digital, kisah Suci Ramadhani mengingatkan kita bahwa kreativitas tak perlu layar. Imajinasi bisa tumbuh di sela lembaran kertas bekas, di goresan pensil yang ditarik perlahan, dan dalam mimpi-mimpi sederhana anak desa yang ingin menggugah dunia.

Jika anak lain menonton YouTube untuk melihat cerita, Suci menciptakan cerita untuk dunia yang belum ia lihat. Sebuah dunia yang ia isi dengan tokoh-tokoh seperti Kanglim, namun hadir dalam wajah anak-anak Indonesia: santun, berani, dan penuh cita-cita.

Dan mungkin suatu hari nanti, komik-komik karya Suci tak hanya tersimpan di balik map plastik dan buku gambar di pojok kamar, tapi akan tampil di rak-rak toko buku, menjadi pengingat bahwa imajinasi anak bangsa tak pernah benar-benar padam.

“Kalau besar nanti, aku mau bikin komik yang ngajarin tentang kebaikan, belajar, dan semangat. Biar semua anak tahu: kita bisa jadi tokoh utama di cerita kita sendiri,” ucapnya sambil menggambar matahari tersenyum di pojok kertasnya.

Penulis : Zamanhuri