Yogyakarta — Indonesia tidak boleh hanya menjadi konsumen dalam arus deras transformasi kecerdasan artifisial (AI) global. Untuk itu, diperlukan strategi nasional yang menyeluruh guna membangun kedaulatan digital berbasis AI, dari riset dan pengembangan, infrastruktur komputasi, regulasi, hingga penguatan talenta.
Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria, dalam forum “Mencapai Seabad Indonesia Merdeka” yang digelar di Ruang Literasi Kaliurang, Yogyakarta, Minggu (29/6/2025).
“Sebetulnya jelas sekali kalau kita ingin membuat satu regulasi dan lain sebagainya kita harus lihat geopolitik pengembangan AI ini. Atlas of AI itu harus jadi pedoman untuk membuat regulasi AI untuk Indonesia kalau kita mau teknologi yang berdaulat,” kata Nezar.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan Komdigi, Senin (30/6/2025), ditegaskan bahwa Indonesia perlu segera menyusun kerangka besar pengembangan AI yang mengacu pada realitas dan kekuatan domestik. Salah satunya adalah pemanfaatan sumber daya alam strategis seperti nikel, boron, dan mineral penting lainnya yang sejauh ini belum masuk dalam peta besar ekosistem AI global.
“Kita punya begitu banyak sumber daya alam dan begitu banyak critical minerals seperti nikel, boron, dan mineral penting lainnya. Tapi belum ada desain besar untuk mengorganisir secara tepat bagaimana kita bisa *bargaining* dengan pusat-pusat pembangunan AI di dunia agar kita menjadi bagian dari ekosistem pengembangan AI dunia,” ujarnya.
Menurut Nezar, salah satu fondasi utama menuju kedaulatan AI adalah memperkuat investasi nasional pada riset dan pengembangan. Saat ini, anggaran R&D Indonesia masih berkisar 0,24% dari Produk Domestik Bruto (PDB)—jauh di bawah rata-rata negara-negara maju.
“Nah tanpa R&D ini agak susah kita bisa mengembangkan AI yang berdaulat, AI yang milik kita sendiri. Untuk membangun semuanya dibutuhkan komputasi yang cukup kuat, infrastruktur yang mumpuni. Dua hal ini masih dalam perencanaan,” tutur Nezar.
Ia menambahkan bahwa AI yang berkembang saat ini banyak didasarkan pada foundation model yang dikembangkan oleh negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, sehingga membawa serta bias nilai-nilai tertentu yang tidak selalu relevan dengan masyarakat Indonesia.
“Alhasil, bias dalam data untuk dipakai oleh masyarakat di luar Amerika itu sering terjadi, termasuk juga stereotyping terhadap kelompok-kelompok tertentu, ras tertentu, bangsa tertentu itu terjadi di AI. Jadi itu membuktikan ya ada upaya untuk melakukan filtering dan lain sebagainya sesuai dengan kepentingan yang ada,” kata Nezar.
Dalam pemaparannya, Nezar juga menyebut tiga tantangan utama yang harus diatasi Indonesia untuk meraih kedaulatan digital: kesenjangan infrastruktur digital, ancaman serangan siber, dan kekurangan talenta digital.
Saat ini Indonesia diproyeksikan membutuhkan lebih dari 12 juta talenta digital hingga tahun 2030, namun masih menghadapi defisit sekitar 2,7 juta orang. Hal ini, menurutnya, berpotensi memperlambat proses transformasi digital nasional.
“Sekali lagi talenta digital ini menurut saya proyek nomor satu, infrastruktur itu mungkin bisa terbatas, tapi kalau orangnya kreatif dia bisa taklukan keterbatasan itu. China membuktikan itu dengan keterbatasan, begitu juga India juga dengan talenta-talenta yang baik mereka bisa lebih maju dalam adopsi teknologi digital ini,” ujarnya.
Nezar menegaskan bahwa pendekatan sektoral dalam transformasi digital tidak akan cukup. Sebaliknya, harus dibangun pendekatan ekosistem yang menyeluruh dan saling terhubung antara sektor keamanan, pendidikan, ekonomi, hingga pelestarian nilai-nilai lokal.
“Jadi antara geopolitik, kepentingan pertahanan dan keamanan, antara pembangunan ekonomi digital, antara pendidikan, kesehatan, protecting local values, itu semuanya berada dalam satu ekosistem yang saling mengunci. Tidak boleh kita abaikan satu elemen pun karena dia akan merusak satu ekosistem itu,” pungkasnya.