Oleh: Muhammad Irfan
Setiap tahun, bulan Muharram datang membawa lebih dari sekadar perubahan angka dalam kalender Hijriah. Ia menyimpan sejarah besar, hikmah perjuangan, dan ajakan spiritual yang relevan sepanjang masa. Namun ironisnya, di tengah gegap gempita perayaan tahun baru Islam, semangat substansial bulan ini justru semakin tergerus oleh rutinitas simbolik dan kehilangan makna transformatifnya.
Secara historis, Muharram menandai momen hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah—sebuah peristiwa besar yang bukan hanya perubahan geografis, tetapi perubahan paradigma. Hijrah adalah manifestasi keberanian spiritual dan sosial; bagaimana Rasulullah dan para sahabat mempertaruhkan segalanya demi mempertahankan akidah dan membangun masyarakat baru yang berkeadilan. Bahkan Umar bin Khattab menjadikan peristiwa ini sebagai dasar penanggalan Islam. Artinya, semangat perubahan total (hijrah) adalah fondasi utama peradaban Islam.
Di sisi lain, Muharram juga menyimpan luka sejarah: tragedi Karbala. Terbunuhnya Imam Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad, di padang Karbala pada 10 Muharram (Asyura), adalah simbol perjuangan melawan tirani. Husain memilih mati syahid daripada menyerah pada kekuasaan yang menyelewengkan agama. Ini bukan sekadar cerita duka Syiah, tapi pelajaran universal tentang keberanian, integritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Namun, hari ini, pesan-pesan luhur itu nyaris tenggelam dalam seremoni tahunan tanpa konten yang membumi. Banyak yang merayakan Muharram dengan pawai, lomba islami, atau doa bersama, tetapi minim refleksi terhadap substansi hijrah dan perjuangan. Padahal, di tengah krisis moral, sosial, dan spiritual yang kini melanda generasi muda Indonesia, nilai-nilai hijrah dan Karbala sangat relevan untuk dijadikan sandaran.
Data dari Kementerian Kominfo (2024) menyebutkan bahwa maraknya fenomena flexing di media sosial dan meningkatnya kasus kekerasan antar remaja merupakan dampak dari krisis identitas dan kehilangan arah spiritual. Kita melihat banyak pemuda terjebak dalam pencitraan digital, konsumerisme, dan budaya instant gratification. Di saat bersamaan, spirit pengorbanan, perjuangan nilai, dan keberanian bersuara menjadi barang langka.
Inilah ironi kita hari ini: hidup di era banjir informasi, tapi krisis makna. Hidup di tengah akses pendidikan dan teknologi, tapi kehilangan arah moral dan spiritual. Maka pertanyaannya, bagaimana Muharram bisa dikembalikan sebagai momentum perubahan, bukan sekadar perayaan?
Solusinya, perlu upaya kolektif untuk mengembalikan semangat hijrah ke tengah kehidupan sosial. Pendidikan keagamaan harus lebih kontekstual, tidak berhenti pada hafalan dan ritual, tetapi menyentuh ranah sosial dan psikologis anak muda. Komunitas, kampus, hingga media sosial perlu diarahkan menjadi ruang untuk dakwah yang membumi—bukan sekadar konten viral, tetapi konten bermakna.
Pemerintah daerah dan lembaga keislaman juga perlu menggagas program Muharram yang berbasis refleksi nilai: seperti gerakan literasi spiritual, kampanye anti kekerasan berbasis ajaran hijrah, hingga forum pemuda yang mengangkat nilai-nilai perjuangan Imam Husain dalam konteks keadilan sosial hari ini.
Muharram adalah bulan perubahan. Tapi perubahan tidak akan terjadi hanya dengan seremonial. Ia membutuhkan kesadaran kolektif, keberanian moral, dan gerakan sosial yang menjadikan nilai-nilai hijrah sebagai jalan hidup.
Jika generasi muda ingin menjadikan hidupnya lebih bermakna, maka hijrah itu bukan lagi sekadar sejarah. Ia harus menjadi kompas, arah pulang, dan energi untuk terus memperjuangkan kebenaran—sekalipun harus berbeda dari arus mayoritas.
Penulis adalah mahasiswa semester IV Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe. Seluruh isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan institusi tempat penulis menempuh pendidikan maupun media yang mempublikasikannya.