Berita  

Perlukah Penertiban Tambang dan Kayu Ilegal untuk Aceh Utara Bangkit?

Editorial: Oleh Redaksi

Ilustrasi

Praktik tambang dan pembalakan liar di Kabupaten Aceh Utara kian menjadi sorotan publik dalam sepekan terakhir. Sejumlah media daring melaporkan bahwa aktivitas ilegal ini bukanlah hal baru dan terjadi di berbagai titik lokasi. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran luas karena berdampak langsung terhadap kerusakan lingkungan dan potensi konflik sosial di masyarakat.

Di sisi lain, muncul pula suara dari para pekerja galian C yang menyuarakan bahwa pekerjaan mereka telah memberikan kontribusi terhadap roda perekonomian lokal. Mereka menilai, hasil dari aktivitas tersebut mampu menghidupi keluarga dan membuka peluang kerja di tengah keterbatasan lapangan kerja formal.

Kontroversi ini pun mencuat ke ruang publik, antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Lentera.News memandang penting untuk mengulasnya lebih dalam dalam tajuk rencana edisi Minggu ini.

Ketika kepentingan ekonomi sesaat dijadikan pembenar, maka dampak jangka panjang yang ditimbulkannya kerap diabaikan. Hal inilah yang menjadi dilema utama: antara memenuhi kebutuhan hidup hari ini atau menjaga keberlanjutan hidup generasi mendatang. Sayangnya, absennya penegakan hukum yang konsisten dan lemahnya pengawasan memberi ruang bagi praktik ilegal ini untuk terus beroperasi, bahkan menjelma menjadi sumber penghidupan yang “dimaklumi”.

Aktivitas tanpa izin ini tidak hanya mencederai hukum, tetapi juga meninggalkan jejak kerusakan yang dalam dan sistemik, mulai dari hutan yang gundul, sungai yang tercemar, hingga tanah yang kehilangan kesuburan. Kerugian ekonomi pun tak kalah besar, dengan potensi pendapatan daerah yang terus tergerus. Ironisnya, praktik tersebut tetap berlangsung, seolah menjadi bagian dari keseharian yang dibiarkan oleh mereka yang seharusnya bertindak.

Setiap tahun, kerugian akibat tambang dan kayu ilegal diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Namun, kerugian sesungguhnya tidak terwakili oleh angka-angka itu. Kehancuran ekologis, hilangnya keanekaragaman hayati, dan meningkatnya intensitas bencana alam, seperti banjir dan longsor, adalah dampak yang jauh lebih luas dan menghantam kehidupan warga dalam jangka panjang. Bencana ekologis bukan lagi bayang-bayang masa depan. Ia telah hadir nyata berulang kali menghantui Aceh Utara dari tahun ke tahun.

Sebagian masyarakat menilai, praktik ilegal ini bukan lagi pekerjaan sembunyi-sembunyi. Ia beroperasi terang-terangan, menggunakan alat berat, memiliki jalur distribusi hasil yang tertata rapi, bahkan menyusup ke dalam struktur ekonomi lokal. Hal ini menunjukkan bahwa praktik tersebut bukan sekadar upaya warga mencari penghidupan, melainkan bagian dari sistem ekonomi gelap yang melibatkan jaringan lebih luas yang dalam banyak kasus, sulit disentuh hukum.

Di sisi lain, ketimpangan semakin terasa. Perusahaan tambang legal yang beroperasi sesuai regulasi dipaksa bersaing secara tidak adil dengan tambang ilegal yang bebas dari kewajiban, pajak, dan tanggung jawab lingkungan. Ini tidak hanya merusak iklim usaha, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Penertiban bukan lagi sebatas tuntutan administratif, melainkan sebuah panggilan moral dan politik. Penertiban adalah jalan untuk menegakkan kedaulatan atas sumber daya alam dan menjaga martabat Aceh Utara sebagai daerah yang kaya potensi tetapi miskin pengelolaan.

Dalam laporan kinerjanya yang ke-100 hari, Bupati Aceh Utara, Ismail A. Jalil, SE., MM, atau yang akrab disapa Ayahwa menegaskan komitmen terhadap penataan sektor pertambangan, khususnya tambang galian C seperti pasir, kerikil, dan batu. Ia menyebut bahwa potensi besar ini justru menjadi sumber kebocoran pendapatan akibat lemahnya pengawasan dan maraknya praktik ilegal.

“Selama ini ada potensi besar di sektor galian C, tetapi justru menjadi titik kebocoran pendapatan. Kita harus pastikan aktivitas tambang diatur, tertib, dan memberi manfaat bagi daerah,” ujar Ayahwa, Rabu (28/5/2025), di Aula Kantor Bupati.

Pernyataan ini patut dicatat sebagai sinyal politik yang tegas dan layak dijadikan pijakan awal perubahan. Namun, komitmen saja tidak cukup. Tanpa langkah konkret dan sistematis, semangat itu hanya akan menjadi catatan dalam laporan tahunan.

Penertiban harus dilakukan dalam kerangka kebijakan yang menyeluruh, dimulai dari pendataan akurat, reformasi perizinan, penguatan pengawasan lintas sektor, hingga kolaborasi yang erat antara pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat sipil. Pendekatan sektoral tidak lagi memadai. Diperlukan tata kelola baru yang berpihak pada keberlanjutan dan keadilan.

Reformasi di sektor tambang dan kehutanan juga harus membuka ruang legal bagi para pelaku usaha yang patuh terhadap aturan. Kepastian hukum, insentif, dan perlindungan perlu diberikan bagi perusahaan yang bertanggung jawab. Sebaliknya, terhadap pelaku ilegal yang merusak lingkungan, sanksi harus ditegakkan secara adil dan transparan, mulai dari pencabutan hak usaha, penyitaan aset, hingga proses hukum tanpa kompromi.

Partisipasi masyarakat menjadi fondasi penting. Edukasi lingkungan harus dibarengi dengan penyediaan alternatif ekonomi yang layak dan berkelanjutan. Selama masyarakat tidak memiliki pilihan selain bergantung pada aktivitas ilegal, upaya penertiban hanya akan berakhir dalam siklus yang sama.

Momentum pemerintahan baru di Aceh Utara adalah saat yang tepat untuk membenahi tata kelola sumber daya alam secara menyeluruh. Regulasi perlu diperkuat, pelaksanaannya diperketat, dan semua pihak dari pemerintah hingga pelaku usaha perlu diajak kembali ke jalur yang benar. Keberpihakan pada keadilan sosial, lingkungan hidup, dan transparansi pengelolaan harus menjadi prinsip utama.

Aceh Utara sesungguhnya tidak kekurangan sumber daya. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengelola dengan cara yang adil, bertanggung jawab, dan berpihak pada kelestarian. Jika dilakukan dengan benar, sektor tambang dan kehutanan bisa menjadi pilar pembangunan yang kokoh, bukan sumber kerusakan dan konflik sosial yang berlarut-larut.

Kini saatnya menjawab pertanyaan di awal tulisan ini. Penertiban tambang dan kayu ilegal bukan sekadar perlu, tetapi mendesak. Sebab, yang dipertaruhkan bukan hanya pendapatan daerah, tetapi juga arah masa depan Aceh Utara sebagai daerah yang ingin bangkit, mandiri, dan berdiri tegak di atas kekayaan alamnya sendiri.