Berita  

Dari Lubang Kubur ke Pondasi Harapan: Kisah Rahman di Gampong Blang Crum

Rahman sedang menggali pondasi rumahnya, Minggu, (14/9/2025), (Foto/ Zamanhuri)

Pagi itu, di sebuah lahan kecil di sebelah kuburan Gampong Blang Crum, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, Aceh, suara cangkul menghantam tanah terdengar berulang. Udara masih sejuk, embun belum sepenuhnya lenyap dari pucuk rumput. Di tengah lahan itu, seorang lelaki beruban dengan tubuh kurus namun kokoh membungkuk, menggali tanah dengan gerakan mantap. Dialah Rahman (60), penggali kubur yang sudah puluhan tahun menjalani pekerjaan sunyi itu. Hanya saja, kali ini ia bukan sedang menggali liang lahat untuk orang lain, melainkan pondasi rumahnya sendiri.

Ada sinar berbeda di mata Rahman. Sorotnya tajam, teduh, sekaligus menyimpan rasa haru. Garis-garis keriput di wajahnya bercerita tentang perjalanan panjang hidup yang penuh luka dan perjuangan. Di balik rambut memutih, masih tampak sisa ketampanan: hidung mancung dan rahang kokoh. Lelaki itu seperti memikul beban masa lalu dan harapan masa depan sekaligus dalam setiap ayunan cangkulnya.

Di awal masa damai Aceh, Rahman sebenarnya punya beberapa kesempatan mendapat rumah bantuan. Namun, ia menolak. Baginya, masih banyak orang yang lebih layak. Ia mendahulukan mereka karena merasa waktu itu dirinya masih muda, kuat, dan sanggup bertahan dengan kondisi seadanya. Kini, ketika usia menua, tubuh melemah, dan sakit-sakitan kerap datang, pilihan itu kerap teringat kembali. Tetapi Rahman tidak pernah menyesal; ia percaya setiap rezeki punya waktunya sendiri.

Bertahun-tahun Rahman dan istrinya, Juwairiah (51), bersama lima anaknya, tinggal di sebuah rumah kecil yang lebih mirip gubuk berlantai tanah. Atapnya dari daun rumbia yang mudah bocor saat hujan deras. Dindingnya terbuat dari tripleks bekas dan anyaman bambu yang rapuh dimakan usia. Tiang-tiang rumah hanya bambu dari kebun tetangganya. Saat angin kencang bertiup, rumah itu bergoyang, menimbulkan rasa waswas yang tak pernah tuntas. Di musim hujan, air merembes dari segala arah, menggenangi lantai tanah.

Rumah sederhana itu dibangun beberapa tahun silam dengan bantuan tenaga sukarela dari sahabatnya, Abusyik. Sebagian besar bambu yang dipakai adalah sumbangan dari kebun Abusyik, dipotong sendiri dengan ikhlas. Meski serba seadanya, rumah itu menjadi tempat berlindung keluarga Rahman, tempat cerita suka dan duka bersemi, dan tempat ia mengajarkan kesabaran pada anak-anaknya.

“Kalau hujan deras, kami biasa pindahkan barang-barang ke tempat yang agak kering. Malam-malam sering harus berjaga karena bocor di mana-mana. Tapi ya beginilah hidup, yang penting ada tempat berteduh,” tutur Rahman suatu ketika sambil tersenyum getir.

Kondisi rumah yang ditempati Rahman selama bertahun-tahun, Jumat, (12/9/2025), (Foto/ Zamanhuri)

Tahun ini, nasib Rahman berubah. Ia menerima rumah bantuan dari lembaga kemanusiaan Islamic Relief UK, bekerja sama dengan Baitul Mal Kota Lhokseumawe. Bagi Rahman, kabar itu ibarat hujan di musim kemarau panjang. Kehidupan sederhana yang berat mendadak menemukan titik terang. Bantuan itu bukan sekadar bangunan, melainkan hadiah kehidupan baru bagi keluarganya.

“Seumur hidup saya, baru kali ini merasa seperti punya rumah sungguhan,” ujar Rahman kepada media ini, Minggu (14/9/2025). Suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca menatap pondasi yang baru digali.

Pembangunan rumah itu tak hanya dikerjakan tukang upahan. Rahman sendiri ikut bekerja dengan tenaga tersisa. Ia menggali pondasi bersama Umar, sementara sahabat lamanya, Abusyik, dipercaya sebagai kepala tukang. Bagi mereka, pekerjaan ini lebih dari sekadar membangun rumah; ini adalah bagian dari membangun harapan.

Kisah persahabatan Rahman dan Abusyik panjang. Mereka bersaudara bukan karena darah, melainkan sejarah hidup yang keras. Saat konflik Aceh berkobar, keduanya pernah berada dalam lingkaran perlawanan. Rahman bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Lhok Nibong, Aceh Timur, sementara Abusyik menjadi bagian pasukan di wilayah Pasee.

Masa itu penuh darah dan air mata. Rahman, kala itu masih gagah dan penuh semangat muda, pernah mengangkat senjata demi mimpi kebebasan Aceh. Abusyik pun demikian. Mereka berjuang dengan keyakinan, meski taruhannya adalah nyawa dan masa depan. Kini, puluhan tahun berlalu, setelah perjanjian damai ditandatangani, senjata-senjata itu telah diletakkan. Yang tersisa hanyalah kenangan pahit, luka batin, dan kerinduan akan kehidupan normal.

“Dulu kami sama-sama susah, sama-sama berjuang. Sekarang pun masih sama-sama berjuang, tapi dengan cara lain. Saya jadi tukang, Rahman jadi penggali kubur. Kita tidak lagi memikirkan senjata, tapi bagaimana bisa bertahan hidup,” kata Abusyik sambil tersenyum di sela pekerjaannya.

Rahman mengangguk. Persahabatan mereka tak lekang waktu. Dari hutan-hutan tempat bersembunyi di masa konflik, hingga tanah lapang tempat pondasi rumahnya digali kini, kebersamaan itu tetap utuh.

Sehari-hari, Rahman dikenal sebagai penggali kubur di gampongnya. Profesi ini bukan pekerjaan yang menjanjikan uang banyak, tetapi sangat berarti bagi masyarakat. Setiap kali ada warga berpulang, nama Rahman selalu dipanggil bersama Ilyas. Ia datang dengan cangkul, parang, dan niat tulus, lalu menggali liang lahat dengan tenang.

“Kerja menggali kubur itu kerja ikhlas. Tidak semua orang sanggup. Kalau saya, ini sudah jadi bagian hidup,” ujarnya.

Penghasilan dari pekerjaan itu tentu tidak menentu. Untuk kebutuhan sehari-hari, Rahman dan istrinya bekerja serabutan. Namun, ia tak pernah mengeluh. Baginya, setiap rezeki, sekecil apa pun, adalah berkah.

Kini, dengan adanya rumah baru, Rahman merasa hidupnya menemukan arti lain. Bukan semata soal kenyamanan fisik, tetapi tentang martabat. Selama ini, ia sering merasa minder ketika tamu datang dan melihat rumahnya yang reyot. Anak-anaknya pun tumbuh dengan rasa prihatin melihat keadaan orang tua mereka.

“Kalau rumah bocor, anak-anak suka bilang, kenapa kita tidak bisa tinggal di rumah bagus seperti orang lain. Saya hanya bisa bilang, sabar, nanti ada rezeki kita. Alhamdulillah, sekarang doa itu terjawab,” ucap Rahman, sembari menyeruput kopi Aceh di bawah pohon sukun.

Rumah baru ini akan memiliki dinding permanen, atap seng kokoh, serta tahan gempa. Tidak ada lagi rasa waswas setiap kali hujan deras atau angin kencang datang. Anak-anak Rahman kini bisa tidur dengan tenang tanpa takut kehujanan atau kedinginan.

Rahman selalu berkata rumah ini bukan sekadar untuk dirinya. “Umur saya sudah senja. Rumah ini saya bangun untuk anak-anak dan cucu-cucu saya, agar mereka punya tempat pulang, tempat berkumpul, tempat berlindung,” ucapnya lirih.

Baginya, rumah baru adalah warisan terbaik yang bisa ia tinggalkan. Ia mungkin tidak punya harta berlimpah atau tabungan di bank. Namun, sebuah rumah layak sudah cukup sebagai tanda cinta dan tanggung jawab kepada keluarga.

Rahman, Abusyik dan Umar sedang bekerja, Minggu, (14/9/2025), (Foto/ Zamanhuri)

Kisah Rahman hanyalah satu dari ribuan kisah rakyat kecil di Aceh yang bertahan hidup setelah masa konflik. Perjanjian damai Helsinki memang menghentikan suara senjata, tetapi tidak serta-merta menghapus kemiskinan dan kesulitan hidup. Banyak mantan kombatan dan keluarganya berjuang keras menata ulang kehidupan dari awal.

Di pedesaan Aceh, rumah tidak layak huni masih menjadi pemandangan sehari-hari. Lembaga kemanusiaan hadir untuk mengisi celah yang belum mampu dijangkau pemerintah. Bantuan rumah dari Islamic Relief UK yang diterima Rahman adalah contoh nyata bahwa solidaritas lintas batas bisa mengubah kehidupan seseorang.

Menjelang siang, Rahman berdiri di tepi lahan yang sedang digali. Tanah masih basah, uruk pondasi mulai terbentuk. Ia menatapnya lama, seolah membayangkan dinding yang akan berdiri, atap yang akan melindungi, dan suara tawa anak-cucu yang akan memenuhi ruang baru itu.

Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Seorang penggali kubur, yang biasa berhadapan dengan kematian setiap hari, kini sedang menggali kehidupan baru untuk dirinya sendiri. Dari liang lahat menuju pondasi rumah, dari masa lalu yang kelam menuju masa depan yang penuh harapan.

“Mati sudah pasti, tapi hidup juga harus dijalani. Rumah ini jadi tanda bahwa hidup saya dan keluarga masih punya harapan,” katanya pelan, penuh harap.

Di balik rasa syukur itu, Rahman menyimpan sebuah harapan sederhana. Ia berharap program bantuan rumah dari pemerintah benar-benar sampai kepada mereka yang berhak, tanpa praktik jual beli ataupun penyalahgunaan. Menurutnya, rumah bukan sekadar bangunan, melainkan pondasi martabat bagi keluarga kecil yang berjuang di tengah keterbatasan.

“Biar orang-orang kecil seperti saya bisa merasakan layaknya punya rumah, tanpa harus menunggu tua dan sakit-sakitan dulu,” ucap Rahman, menutup pembicaraan dengan senyum tulus.

Harapan Rahman sesungguhnya adalah cermin bagi banyak keluarga miskin di Aceh. Bantuan yang tepat sasaran mampu mengubah kehidupan, memberi ruang bagi anak-anak untuk tumbuh dengan rasa percaya diri, dan menumbuhkan keyakinan bahwa negara hadir bagi warganya. Sebaliknya, ketika bantuan salah arah, jatuh ke tangan orang-orang yang sudah berkecukupan atau diperdagangkan, maka yang tersisa hanyalah luka dan ketidakpercayaan.

Rahman menyampaikan terima kasih kepada masyarakat Muslim UK, Islamic Relief, Baitul Mal Kota Lhokseumawe, dan semua pihak yang telah membantu.

Penulis : Zaman Huri