Lhokseumawe — Pagi itu, halaman rumah Abdurrahman di Gampong Blang Crum, Kecamatan Muara Dua, tampak lebih ramai dari biasanya. Satu tenda putih berdiri di atas tanah yang masih basah, meneduhkan barisan kursi plastik yang tertata rapi. Sebuah layar televisi besar menampilkan wajah-wajah dari berbagai daerah di Indonesia yang tersambung lewat Zoom Meeting. Di bawah layar, sebuah kamera dan pengeras suara berdiri tegak, siap merekam momen penting hari itu: penyalaan listrik gratis bagi keluarga miskin dalam rangka memperingati Hari Listrik Nasional (HLN) ke-80.
Di barisan kursi depan, Kepala PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Lhokseumawe, Husni, duduk berdampingan dengan Rizal Fahmi, Kepala Unit Layanan Pelanggan (ULP) Lhokseumawe, serta Muslim, S.Sos., Kepala Dinas Sosial Kota Lhokseumawe. Hadir pula Camat Muara Dua dan beberapa perangkat gampong. Di tengah mereka, dengan pakaian sederhana dan senyum gugup, duduk Abdurrahman, lelaki 60 tahun yang pagi itu menjadi pusat perhatian.
Rahman, begitu warga memanggilnya, dikenal sebagai penggali kubur di kampungnya. Ia memandangi kabel-kabel baru yang menjuntai menuju dinding gubuk kayunya. Hari itu, 21 Oktober 2025, menjadi hari bersejarah baginya, untuk pertama kalinya, rumahnya akan benar-benar terang oleh listrik dari PLN.
Ketika pembawa acara dalam pertemuan virtual itu memintanya memberi sambutan, Rahman hanya tersenyum kikuk. Bibirnya bergetar, namun tak ada kata keluar.
“Saya… saya tak bisa berkata apa-apa,” ucapnya pelan, matanya berkaca-kaca.
Suaranya tenggelam di tengah keheningan. Binar bahagia itu tak bisa disembunyikan. Bagi orang lain, listrik mungkin hal biasa. Tapi bagi Rahman, cahaya itu seperti tanda lahirnya kembali harapan setelah bertahun-tahun hidup dalam gelap.
Sebelum hari itu, malam-malam Rahman hanya ditemani satu bola lampu kecil yang menyala dari sambungan kabel milik tetangga. Lampu itu pun tak selalu hidup, kadang padam karena tegangan tak stabil.
Rumah Rahman berdiri di tepi kuburan gampong, tak jauh dari tempat ia bekerja sebagai penggali kubur. Bersama istri dan anaknya, ia menempati sebuah gubuk sederhana yang disusun dari bambu dan triplek bekas, berlantai tanah. Saat malam tiba, gelap menyelimuti seluruh ruangan; hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemaninya.
“Kalau hujan tiba, bocor di mana-mana. Paling saya tampung dengan ember,” kenang Rahman. “Kadang saya pikir, mungkin hidup saya memang harus begini.”
Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan sejumlah pihak yang peduli. Islamic Relief, lembaga kemanusiaan internasional, bekerja sama dengan Baitul Mal Kota Lhokseumawe, membangun rumah layak untuk Rahman. Di tengah pembangunan rumah baru itulah, PLN hadir membawa terang yang sesungguhnya.
Program Listrik untuk Rumah Tangga Tidak Mampu (LUTD) bukan bagian dari proyek besar pemerintah, melainkan buah gotong royong dari para pegawai PLN. Dari gaji yang mereka sisihkan setiap bulan, terkumpul dana untuk membantu masyarakat yang belum tersambung listrik.
“Ini bentuk kepedulian kami,” kata Husni, Kepala PLN UP3 Lhokseumawe, dalam sambutannya. “Semua dana ini berasal dari iuran sukarela karyawan PLN. Kami ingin memastikan tidak ada rumah tangga yang dibiarkan gelap, sekecil apa pun rumahnya.”
Dalam rangka HLN ke-80 tahun ini, PLN UP3 Lhokseumawe menargetkan 24 sambungan listrik gratis, empat di antaranya berada di wilayah Kota Lhokseumawe. Sejak Januari 2025, tercatat 95 pelanggan baru telah menikmati listrik melalui berbagai program bantuan, termasuk yang bersumber dari dana CSR dan donasi karyawan.
Setelah prosesi penyalaan dilakukan, Husni menyerahkan bantuan sembako untuk keluarga Rahman. Paket itu sederhana, beras, minyak, gula, dan beberapa kebutuhan pokok lainnya. Namun di wajah Rahman, hadiah itu tampak begitu berarti.
“Terima kasih, Pak. Saya tidak tahu bagaimana membalasnya,” katanya lirih.
Bagi Kepala Dinas Sosial, Muslim, S.Sos., kisah Rahman menjadi contoh bagaimana kolaborasi antarinstansi bisa menghadirkan perubahan nyata.
“Program seperti ini bentuk nyata kehadiran negara melalui lembaga-lembaganya. PLN hadir bersama Baitul Mal dan Islamic Relief, bergandengan tangan menyalakan harapan warga,” ujarnya.
Ia menambahkan, keberadaan listrik bukan hal kecil. “Dengan listrik, anak-anak bisa belajar lebih lama, ibu bisa memasak tanpa takut gelap, dan keluarga bisa hidup lebih sehat. Ini awal dari perubahan sosial,” katanya.
Ketika acara penyalaan selesai, tamu undangan masih bertahan di halaman rumah Rahman. Beberapa warga sekitar datang menyalami petugas PLN; sebagian lagi sibuk mengambil foto.
Rahman menatap rumahnya dari kejauhan. Plesteran dindingnya masih setengah jadi, atap seng belum seluruhnya terpasang. Ia tahu, sebentar lagi rumah itu akan selesai, dan ia bisa tidur dengan tenang di bawah cahaya lampu yang tak lagi menumpang dari tetangga.
“Dulu waktu awal damai Aceh,” katanya pelan, “saya sering menolak bantuan rumah. Waktu itu saya masih muda, masih kuat. Saya bilang, biar orang lain dulu yang dapat. Tapi sekarang saya sudah tua, sudah lemah. Mungkin ini saatnya saya menerima.”
Di ujung kalimatnya, matanya kembali basah. Tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan karena rasa syukur yang sulit dilukiskan.
