Berita  

Aceh Utara Turun Peringkat di MTQ Aceh ke-37, Salah Siapa?

Editorial

10 besar hasil MTQ Aceh 37, tahun 2025 di Pidie Jaya.

Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Aceh ke-37 telah usai. Riuh suara qari dan qariah yang mengalun di langit Pidie Jaya menyisakan kabar yang menohok. Kabupaten Aceh Utara gagal memenuhi targetnya menjadi juara umum. Harapan besar yang diusung pemerintah daerah kandas di tengah podium kemenangan yang direbut kabupaten lain. Lebih getir lagi, peringkat Aceh Utara justru turun dari posisi keempat pada MTQ sebelumnya menjadi urutan kelima tahun ini.

Pertanyaan pun mencuat di berbagai kalangan. Apa yang salah? Apakah kafilah tidak disiapkan dengan baik? Apakah pembinaan berjalan tanpa arah? Atau justru ada persoalan dalam manajemen dan kebijakan di balik layar?

Sebelum keberangkatan ke Pidie Jaya, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara melalui Dinas Syariat Islam (DSI) mengumandangkan target ambisius, juara umum. Keyakinan itu bukan tanpa dasar. Selama ini, Aceh Utara dikenal sebagai salah satu daerah dengan tradisi tilawah, tahfidz, dan qira’at terkuat di kawasan utara Aceh. Namun kenyataan di arena berbicara lain. Dari puluhan cabang yang diikuti, hanya sebagian kecil yang mampu menembus posisi tiga besar.

Hasil akhir mencatat: 6 juara pertama, 1 juara dua, 2 juara tiga, serta beberapa juara harapan. Total nilai yang dikumpulkan mencapai 181 poin, terpaut jauh dari Aceh Besar yang menjadi juara umum dengan 379 poin dan 14 gelar juara pertama. Selisih itu cukup untuk menggambarkan jarak yang kian melebar antara ambisi dan kenyataan.

Di balik catatan angka itu, ada dinamika panjang yang membayangi persiapan kontingen. Sejak usai pelaksanaan MTQ ke-36 tingkat kabupaten, muncul kebijakan kontroversial dari Dinas Syariat Islam Aceh Utara yang melakukan seleksi ulang terhadap peserta yang akan dikirim ke tingkat provinsi.

Kebijakan ini sontak menimbulkan gejolak. Beberapa juara satu hasil MTQ kabupaten justru digantikan oleh peserta lain yang dinilai “lebih siap” oleh panitia seleksi. Protes pun mengalir dari para peserta dan pelatih. Mereka mempertanyakan dasar keputusan itu. Apakah benar untuk memperkuat kontingen, atau justru ada kepentingan lain yang ikut bermain?

Gelombang kritik akhirnya membuat DSI mengurungkan niat. Peserta dikembalikan sesuai hasil MTQ kabupaten, kecuali untuk cabang beregu. Namun, keretakan sudah terlanjur terjadi. “Bagaimana mau maksimal kalau dari awal saja sudah tidak percaya satu sama lain,” ujar seorang peserta yang enggan disebut namanya.

Kekacauan administrasi itu berdampak langsung pada proses pembinaan. Sumber media ini menyebutkan bahwa training center (TC) baru berjalan efektif hanya beberapa pekan sebelum keberangkatan. Beberapa cabang bahkan hanya berlatih beberapa kali. “Semua serba terlambat karena belum jelas siapa yang akan diberangkatkan,” kata sumber tersebut.

Kondisi ini sangat kontras dengan daerah lain yang sudah melakukan pemusatan latihan berbulan-bulan sebelumnya. Hasilnya terlihat di podium kemenangan.

Menurunnya peringkat Aceh Utara bukan sekadar soal angka. Ini menyangkut gengsi daerah yang selama ini menjadi tolok ukur pembinaan syariat Islam di Bumoe Pase. Kegagalan meraih target juara umum seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah daerah untuk meninjau ulang sistem pembinaan dan manajemen MTQ yang selama ini berjalan.

Sejumlah kalangan menilai, pelaksanaan MTQ di Aceh Utara belakangan ini terlalu seremonial, sementara esensi pembinaan terabaikan. Perhatian besar baru muncul menjelang lomba, sedangkan pembinaan jangka panjang tidak pernah dijadikan program berkelanjutan.

“Kalau mau hasil bagus, pembinaan harus berkesinambungan, bukan musiman menjelang MTQ,” ujar seorang tokoh agama yang kerap terlibat dalam ajang tersebut.

Kini, setelah hasil diumumkan, tanggung jawab terbesar berada di pundak Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Dinas Syariat Islam sebagai penanggung jawab utama pembinaan keagamaan harus membuka ruang evaluasi secara terbuka. Publik berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi selama proses persiapan, apakah anggaran pembinaan digunakan sebagaimana mestinya? Bagaimana mekanisme seleksi pelatih dan peserta? Dan mengapa pembinaan tidak berjalan efektif meski dana telah dialokasikan?

Evaluasi juga mesti menyentuh aspek moral dan profesionalitas pengelola. MTQ bukan semata ajang mencari juara, melainkan cerminan kualitas pembinaan Al-Qur’an di daerah. Bila sistemnya rapuh, sehebat apa pun peserta tak akan mampu bersinar.

Kegagalan di Pidie Jaya semestinya tidak dijadikan ajang saling menyalahkan. Justru inilah momentum untuk berbenah. Sebab potensi Aceh Utara tidak pernah hilang. Qari dan qariah berbakat tersebar di pesantren, madrasah, dan dayah di seluruh Bumoe pase. Yang dibutuhkan hanyalah pembinaan yang konsisten, transparansi seleksi, dan manajemen profesional.

Jika tidak, setiap kali MTQ digelar, Aceh Utara hanya akan mengulang kisah yang sama, target tinggi, hasil mengecewakan, lalu hilang begitu saja hingga tahun depan.

Aceh Utara mungkin gagal kali ini, tetapi bukan berarti kehilangan harapan. Yang diperlukan hanyalah kejujuran untuk mengakui kesalahan, dan keberanian untuk memperbaikinya.

Sebab, di balik setiap kegagalan selalu ada kesempatan untuk bangkit asal ada keikhlasan memperbaiki niat dan cara. Dan mungkin, sebelum kita bertanya “Salah siapa?”, sudah sepatutnya kita bertanya. “Sudahkah kita benar-benar memuliakan Al-Qur’an, bukan sekadar memperlombakannya?

Penulis : Zaman Huri