Tidak Bahagia? Mungkin Anda Lupa Pesan QS. Al-Baqarah 152

Oleh: Muhammad Fauzan, Afiliasi Mahasiswa Ilmu Alquran Dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta

Allah berfirman,

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ

Artinya: “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152).

Meskipun tidak memiliki sabab nuzul khusus, ayat ini memiliki munasabah yang erat dengan ayat-ayat sebelumnya mengenai anugerah petunjuk dan pergantian kiblat. Allah memberikan nikmat spiritual besar kepada umat ini, dan sebagai respons, manusia diperintahkan untuk mengingat-Nya dan bersyukur, agar nikmat tersebut tidak berubah menjadi musibah. Ayat yang singkat ini menyimpan kedalaman makna yang berkaitan langsung dengan kondisi psikologis manusia modern, terutama ketika berbicara tentang kebahagiaan, kecukupan, dan rasa tenang yang semakin dicari, namun semakin sulit dirasakan.

Jika direnungkan secara kritis, ayat ini menyentuh akar persoalan banyak manusia hari ini: mengapa kita tidak bahagia? Dunia telah menawarkan segalanya gadget, hiburan tanpa batas, kenyamanan materi, dan teknologi yang memanjakan. Namun tingkat kecemasan, stres, dan rasa kosong justru meningkat. Secara psikologis, fenomena ini disebut hedonic treadmill: manusia terus berlari mengejar sesuatu harta, status, atau validasi tetapi tidak pernah sampai pada garis “cukup”. Al-Qur’an mengungkapkan hal ini dengan cara yang jauh lebih ringkas: karena kita lupa berzikir dan lupa bersyukur. Zikir memberi kehadiran batin dan arah spiritual, sedangkan syukur menumbuhkan rasa cukup. Tanpa keduanya, manusia sibuk mengisi kekosongan jiwa dengan hal-hal eksternal yang tak pernah memuaskan.

Para mufassir klasik memperkuat pemahaman ini. Al-Ṭabari menjelaskan bahwa perintah fadhkurūnī bukan semata menyebut nama Allah, tetapi hadir dalam kesadaran bahwa setiap langkah hidup berada dalam pengawasan-Nya. Sebagai balasannya, Allah “mengingat” hamba-Nya: bukan sekadar menyebut nama, tetapi memberikan rahmat, ketenangan, dan penjagaan. Ibn Kathir menambahkan bahwa zikir mencakup hati, lisan, dan amal perbuatan. Ia mengutip hadis qudsi: “Barang siapa mengingat-Ku, Aku mengingatnya.” Ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik yang sangat personal. Al-Qurṭubi menekankan syukur sebagai pengakuan, pujian, dan penggunaan nikmat pada tempatnya. Sementara al-Sa‘di memandang ayat ini sebagai hukum balasan: siapa yang memperbanyak zikir, Allah memperbanyak kebaikan baginya. Fakhruddin al-Razi bahkan menyebut ayat ini sebagai terapi spiritual yang dapat mengobati kegelisahan eksistensial manusia.

Jika penjelasan para mufassir ini disandingkan dengan psikologi modern, terlihat bahwa syukur memiliki dampak besar pada kesehatan mental. Penelitian positif psikologi menunjukkan bahwa orang yang membiasakan diri bersyukur memiliki tingkat kecemasan lebih rendah, tidur lebih baik, emosi lebih stabil, dan hubungan sosial lebih sehat. Syukur membuat otak melepaskan hormon kebahagiaan seperti dopamin dan serotonin. Artinya, syukur bukan hanya ibadah, tetapi juga mekanisme ilmiah yang menenangkan saraf manusia. Sementara itu, orang yang jarang bersyukur hidup dalam kondisi psychological scarcity, yaitu selalu merasa kurang meskipun memiliki banyak. Kekayaan materi tanpa syukur akan selalu menciptakan ilusi kurang, bukan cukup. Akibatnya, semakin banyak harta justru semakin banyak kekhawatiran: takut kehilangan, takut tidak cukup, dan takut kalah dari orang lain.

Inilah yang dimaksud Al-Qur’an ketika menyandingkan syukur dengan larangan kufur nikmat. Seseorang bisa memiliki harta melimpah, rumah besar, kendaraan mewah, dan fasilitas modern, namun tetap tidak bahagia karena hatinya tidak mengenal syukur. Ia merasakan kekosongan yang tidak dapat diisi oleh uang, karena rasa cukup tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam. Orang yang tidak bersyukur melihat hidup sebagai kompetisi tanpa ujung; ia terus membandingkan dirinya dengan orang lain, bukan dengan nikmat yang telah ia miliki. Sebaliknya, seseorang yang bersyukur meskipun hartanya sederhana lebih mampu menikmati hidup. Ia fokus pada apa yang ada, bukan yang hilang. Ia melihat berkah, bukan kekurangan. Dalam perspektif Qur’ani, inilah bentuk kekayaan sejati: hati yang merasa cukup.

Dalam praktik sehari-hari, ayat ini mengajarkan langkah-langkah konkret untuk meraih kebahagiaan. Pertama, menyediakan waktu untuk zikir dan refleksi. Ini menghadirkan kesadaran bahwa hidup memiliki arah dan pendamping Ilahi. Kedua, melatih diri mencatat atau menyadari nikmat kecil setiap hari. Dengan cara ini, otak dilatih untuk melihat kebaikan, bukan hanya ancaman atau kekurangan. Ketiga, menghentikan kebiasaan membandingkan hidup dengan orang lain. Syukur mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki takdir dan rezeki masing-masing. Keempat, mengubah cara pandang terhadap harta. Dalam Islam, harta adalah amanah, bukan penentu nilai diri. Orang yang bersyukur menggunakannya untuk kebaikan, bukan untuk mengejar pengakuan.

Akhirnya, QS. Al-Baqarah ayat 152 mengingatkan bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dicari jauh-jauh. Ia hadir ketika hati terhubung kepada Allah melalui zikir, dan ia tumbuh ketika seseorang mengakui nikmat-Nya melalui syukur. Allah berfirman, “Ingatlah Aku, niscaya Aku ingat kalian.” Ini bukan hanya janji, tetapi undangan menuju kedamaian batin yang tidak bisa diberikan dunia. Jika suatu hari kita merasa tidak bahagia tanpa alasan yang jelas, mungkin saat itu kita sedang lupa pada pesan mendalam ini: “Fadzkurūnī adzkurkum wasykurū lī wa lā takfurūn.” Ini bukan sekadar ayat, tetapi formula kebahagiaan spiritual dan psikologis yang telah terbukti lintas zaman.