Berita  

Perjuangan ASN: Menembus Banjir, Menantang Takdir

Bagian 1: Ketika Pagi Tak Lagi Menjanjikan Pulang

(Foto/ Dokumentasi Lentera.News)

Hujan yang tak kunjung jeda sejak sepekan mengubah Aceh Utara menjadi lautan kecemasan. Para aparatur sipil negara berangkat bekerja dengan satu keyakinan sederhana: bahwa hari itu akan mereka lalui seperti biasa. Namun hujan hari itu ternyata membawa takdir lain.

Pagi itu, Rabu, 26 November 2025, langit Lhokseumawe dan Aceh Utara seolah tak diberi kesempatan bernapas. Hujan turun rapat seperti tirai kelabu yang menutupi pandangan. Sudah sepekan cuaca tak bersahabat, dan laporan banjir berdatangan dari berbagai kecamatan: Lhoksukon, Tanah Jambo Aye, Sawang, Langkahan, Matangkuli, Pirak Timu, hingga wilayah-wilayah kecil yang jarang disebut tetapi tak kalah menderita.

Di tengah suasana itu, lima aparatur negara bangun dengan alasan yang sama, tanggung jawab. Mereka tak saling mengenal. Tak pernah berbagi ruang kerja. Bahkan mungkin tak pernah bertukar sapa jika berpapasan. Tetapi hari itu, nasib mempertemukan mereka dalam satu rangkaian peristiwa yang tak akan pernah mereka lupakan.

Mereka adalah Maswani, Sulaiman, Husaini, Iskandar, dan Fitria.
Mereka pergi bekerja dalam hujan yang tak mengizinkan siapa pun berjanji akan pulang.

Bagi Maswani, pegawai bagian umum di Sekretariat Kantor Bupati Aceh Utara, pagi itu berjalan seperti rutinitas yang sudah ia hafal. Sepeda motornya ia parkir di kantor lama Pemkab di Jalan T. Hamzah Bendahara, Lhokseumawe. Dari sana, ia naik bus dinas menuju pusat pemerintahan di Landing. Layanan antar-jemput itu sudah bertahun-tahun menjadi tumpuan banyak ASN sejak perkantoran dipindahkan ke lokasi baru.

Di tempat lain, Husaini, seorang guru di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 Aceh Utara, berangkat dari rumahnya di Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, pada pukul 06.00 pagi dengan sepeda motor miliknya. Ia datang lebih awal dari biasanya. Meskipun proses belajar mengajar sedang tidak dapat dilaksanakan, ia tetap pergi untuk menyelamatkan inventaris sekolah dan bahan ajar miliknya sebelum air naik lebih tinggi. Rasa tanggung jawab itu cukup membuatnya tetap berangkat, meski banyak orang memilih bertahan di rumah.

Fitria, Kepala SDN 1 Samudera, juga berangkat lebih awal untuk mengatur aktivitas sekolah dan mengamankan inventaris di tempat ia mengabdi.

Sementara itu, Sulaiman, pegawai BPKAD Aceh Utara, menumpangi bus Pemda dari Kota Lhokseumawe, berbeda dengan bus yang dinaiki Maswani. Tak ada yang menyangka bahwa perjalanan pulang mereka kelak menjadi awal dari rangkaian perjuangan panjang.

Saat mereka bergerak menuju kantor masing-masing, jalan Medan–Banda Aceh masih bisa dilalui. Tak ada tanda bahwa beberapa jam setelahnya, jalan itu akan berubah menjadi pusaran air yang tak bersahabat.

Menjelang siang, kabar buruk berdatangan. Informasi mengenai tanggul jebol di beberapa titik menyebar dari mulut ke mulut. Akses ke Lhoksukon mulai terputus. Beberapa sungai meluap lebih cepat dari perkiraan. Kabar bahwa banyak ASN terkepung di gampong masing-masing membuat kecemasan merebak.

Hingga akhirnya, keputusan bulat dibuat, pulang.
Bukan karena ingin, melainkan karena khawatir terjebak di perkantoran Landing yang dikelilingi daerah rawan banjir.

Bus dinas yang mengangkut Maswani dan puluhan ASN lainnya perlahan bergerak meninggalkan kawasan Landing. Hujan masih turun makin rapat, makin membatasi pandangan.

Namun tak sedikit pun muncul tanda-tanda panik.
Pulang adalah harapan, bukan ancaman. Setidaknya sampai bus itu tiba di Geudong.

Bus mendadak melambat. Kemudian berhenti.
Seseorang dari luar berteriak memberi tahu, “Han jeut lewat le, ie ka manyang!”
(Tak bisa lewat lagi, air sudah tinggi!)

Air di depan mereka terbentang seperti dinding. Ombak kecil tercipta oleh kendaraan lain yang mencoba memaksa lewat, namun tak satu pun berhasil.

Setelah menunggu cukup lama, sopir memutuskan berbalik arah menuju SPBU Teupin Punti, lokasi yang masih kering dan setidaknya menyediakan makanan. Di sini Maswani bertemu dengan Sulaiman dan Iskandar yang pulang dari Landing dengan menumpang mobil teman sekantor.

Mereka makan ala kadarnya untuk menenangkan perut, sambil menunggu kabar.

Namun kabar tak kunjung datang.

Listrik padam.
Internet hilang.
Sinyal telepon seakan berpulang ke semesta.

Dalam kondisi itu, puluhan ASN tersebar mencari informasi. Maswani, Iskandar, dan Sulaiman memilih berjalan kaki ke beberapa titik banjir untuk membaca situasi. Mereka tiba di kawasan Meunasah Mancang, Keude Geudong, lalu ke Blang Pria, daerah simpang menuju Kecamatan Meurah Mulia. Mereka bertahan di sana sambil memantau keadaan.

Hingga jarum jam menunjuk pukul 17.00 WIB, air tak juga surut. Sebaliknya, ia naik perlahan namun pasti. Matahari bersiap tenggelam di balik pekat awan hujan tanpa sempat memberi cahaya yang cukup untuk keselamatan.

Mundur sudah tidak mungkin.
Keude Geudong dikepung arus kuat dari Sungai Krueng Pase. Jika tetap di sana, mereka terancam terperangkap hingga malam atau lebih buruk.

Maka keputusan terakhir dibuat, menerabas banjir menuju Lhokseumawe, satu-satunya arah yang dianggap masih memungkinkan.

Sulaiman merangkul dan mengangkat Iskandar yang bertubuh kecil agar tidak tenggelam, sementara tangan lainnya berangkulan dengan Maswani hingga mereka tiba di depan Star Kids.

Di sinilah untuk pertama kalinya mereka bertemu Husaini dan Fitria.

Saat itu Husaini sedang berbincang dengan Fitria soal kondisi banjir. Ketika mendengar kata “Blang Crum” dari mulut Husaini, Sulaiman langsung menoleh.

“Jadi droeneuh tinggal di Blang Crum?” tanyanya.
“Iya,” jawab Husaini.
“Saya juga tinggal di Blang Crum,” ujar Sulaiman.

Percakapan mereka berlanjut dan membuat mereka cepat akrab. Husaini juga memperkenalkan Fitria kepada Sulaiman dan Maswani.

Di antara mereka ada beberapa pemuda lain yang juga terjebak. Mereka saling berbagi informasi meskipun belum saling mengenal, karena di hadapan bencana, mereka hanya punya satu tujuan, selamat.

Tak ada yang merasa paling kuat. Semua hanya ingin membantu dan bertahan.

Di bawah hujan yang jatuh seperti besi cair, mereka melangkah.
Perlahan.
Hati-hati.

Dalam arus yang semakin tinggi dan ganas, mereka mencari tempat yang bisa menyelamatkan diri.

Saat cahaya padam sepenuhnya, langkah mereka tak lagi dituntun oleh mata, melainkan oleh naluri. Hanya suara air berdebur diselingi rintihan angin yang menjadi tanda bahwa mereka masih berada di dunia.

Husaini beberapa kali terseret arus. Namun Sulaiman, bertubuh besar dan tegap, sigap menariknya kembali ke barisan. Sosoknya seolah menjadi jangkar bagi mereka yang mulai kelelahan melawan derasnya banjir.

Dingin menusuk.
Kaki tenggelam.
Air di beberapa titik mencapai sepinggang, lalu sedada.

Namun mereka terus berusaha, meski perjalanan baru menempuh sekitar setengah kilometer.

Mereka bertahan di depan Pegadaian. Air semakin tinggi. Tidak ada tempat berpijak yang cukup tinggi di sana, hanya sebuah kotak travo listrik yang hanya mampu menampung tiga orang.

Sampai akhirnya, dalam gulita malam sekitar pukul 20.00 WIB, mereka melihat sebuah ruko di sisi kanan jalan yang mungkin bisa menolong beberapa orang. Tetapi untuk mencapai bangunan itu, mereka masih harus berjalan beberapa meter lagi.

Dan justru pada langkah-langkah terakhir itulah, tragedi mulai mengambil bagiannya.

Berlanjut ke bagian 2.

Penulis : Zaman Huri
Sumber : saksi selamat, Miswani, Sulaiman dan Husaini