Berita  

Bagian 2 Perjuangan ASN: Menembus Banjir, Menantang Takdir

Ketika Arus Menguji Nyawa

Husaini dan Sulaiman bertemu di lokasi mereka terjebak banjir, Jumat, (28/11/2025), (Foto/ Zaman Huri)

Arus itu datang tanpa aba-ab seperti makhluk buas yang meloncat dari kegelapan. Mereka hanya sempat mendengar gemuruh berat sebelum air menghantam dari arah yang tak terduga. Dua pemuda di barisan belakang terangkat dari pijakan. Rangkulan tangan yang sejak awal menjadi ikatan keselamatan terlepas begitu saja, tercabik oleh kekuatan air yang tak berbentuk namun seolah memiliki kehendak.

Salah satu dari mereka sempat berteriak, tetapi suaranya hilang ditelan riuh air yang memukul badan jalan. Keduanya terseret cepat, tubuh berputar tak berdaya dalam pusaran kecokelatan. Namun keberuntungan masih singgah, sebatang pohon mangga di halaman Balai Pengajian Sirajul Akhlaq menjadi penyelamat. Mereka tergantung di batang rendah, terperangkap, tetapi bernyawa.

Di depan, Sulaiman berusaha mempertahankan barisan yang mulai oleng akibat hentakan dua pemuda yang terlepas tadi. Tubuhnya terhempas ke belakang, namun tangannya sempat menggapai tiang besi pamflet di tepi jalan. Di belakangnya, Husaini mulai kehilangan pijakan. Hanya beberapa meter lagi Sulaiman sudah dapat mencapai toko yang menjadi tujuan, tetapi arus yang kian beringas membuat langkah itu mustahil. Ia terpaksa mendorong Iskandar ke arah ruko untuk menyelamatkan Husaini yang mulai terseret. Barisan terhenti. Bukan karena menyerah, tetapi karena badai memaksa siapa pun untuk berhenti.

Tubuh ringkih Husaini kian tak sanggup melawan arus yang meninggi. “Bang! Bang!” teriaknya, suaranya pecah di udara yang basah. Sekali lagi, tangan Sulaiman menjangkau punggungnya, menariknya kembali seperti jangkar keselamatan. Tangan itu kokoh seolah seluruh tenaga yang tersisa sengaja ia simpan hanya untuk menjaga yang lain tetap hidup.

Dengan sisa tenaga, Sulaiman mendorong Husaini ke arah Iskandar, ke sisi arus yang lebih tenang. Keduanya akhirnya selamat setelah meraih dinding warung kayu yang masih berdiri.

Belum sempat mereka bernapas lega, arus berikutnya datang menyambar. Maswani, yang sejak awal menjaga barisan tetap rapi, tiba-tiba terpental. Tubuhnya terseret masuk ke pekarangan yang lebih rendah dari badan jalan. Bahunya menghantam batang pohon mangga berbeda dari tempat dua pemuda tadi bergelantungan. Rasa sakit membuat pandangannya kabur, tetapi ia tahu bahwa jika tak segera berpegang, arus berikutnya bisa mengakhiri segalanya.

Dengan tangan yang mulai mati rasa oleh dingin, Maswani meraih batang pohon dan memeluknya erat. Air menghantam dari segala arah, berputar seperti ingin menelannya. Dari kejauhan, samar-samar ia mendengar suara Sulaiman memanggil-manggil, memastikan barisan tidak tercerai. Namun dinding air telah memisahkan mereka.

Belum rampung ia bertahan, tubuh Fitria terlihat terbawa arus, meluncur tanpa daya ke arah tempat Maswani bertahan mati-matian. Miswani yang juga berpegangan di pohon itu melihat bayangan tubuh perempuan itu mendekat. Tanpa pikir panjang, satu tangannya terulur, meraih pergelangan Fitria dan menariknya mendekat, sementara tangan lainnya tetap melingkar pada cabang yang menjadi penyelamatnya.

Arus menderu di telinga mereka. Getarannya membuat pohon ikut bergetar. Fitria, dengan tubuh gemetar dan wajah pucat, merangkul pundak Maswani, berusaha tidak hanyut kembali. Namun arus yang lebih besar tiba-tiba datang dari arah samping.

Di situ ternyata sudah ada Muhammad, warga Syamtalira Bayu yang juga terjebak banjir. Ia ikut membantu Fitria, namun saat mencoba menolong, justru dirinya terseret hingga menghantam pohon mangga berikutnya.

Maswani sebelum terseret arus, Rabu, (26/11/2025), (Foto/. Sulaiman)

Maswani dan Fitria terus bertahan. Batang pohon itu licin oleh lumpur dan hujan. Tangan Maswani mulai kehilangan tenaga.

Lalu, lepas.

Dalam sekejap, keduanya terhempas ke dalam arus yang menunggu di bawah. Tubuh mereka tenggelam dalam pusaran yang diperkirakan sedalam dua meter. Dunia seolah terbalik. Gelap. Penuh desis air yang menutup semua suara.

Dalam gelap itulah Maswani meraih tubuh Fitria dan menariknya ke permukaan. Dengan sisa tenaga, ia mengangkat kepala Fitria agar bisa bernapas. Ia sendiri nyaris kehabisan oksigen, namun suara lirih Fitria menahan dirinya dari menyerah.

“Neu… bantu long…”
Tolong saya…

Suara itu pecah, sesak, dipaksa keluar dari kedalaman ketakutan yang paling mencekam.

Arus kembali menyeret. Maswani menendang air, mencari permukaan. Saat kepala Fitria tenggelam lagi, ia angkat sekali lagi. Tubuhnya sendiri terantuk sesuatu yang keras, entah batu, entah batang kayu hingga menimbulkan nyeri yang membuatnya hampir tak mampu bergerak.

Fitria kembali bersuara, lebih parau, “Neu… bantu… long…”

Satu tangan Fitria mencengkeram lengannya erat, membuat Maswani sulit mengontrol tubuhnya. Namun ia bertahan. Ada sesuatu dalam dirinya yang menolak menyerah.

Pada titik itu pikirannya terbelah. Separuh mengingat rumah, anak, keluarga wajah-wajah yang menjadi alasan pulang. Separuh lainnya mengingat bahwa manusia tidak diciptakan untuk meninggalkan manusia lain.

“Apakah ini hari terakhirku?”
Pertanyaan itu melintas singkat, tajam, sedingin malam yang menutup Aceh Utara.

Arus kembali menghantam. Napasnya tersengal. Kekuatan hampir habis. Namun ketika Fitria memanggilnya untuk ketiga kali, naluri paling dasar manusia bangkit memberontak.

Bagaimanapun, ia tidak bisa melepaskannya.

Maswani memaksa kakinya menjejak sesuatu yang keras di dasar, mengangkat kepala Fitria setinggi mungkin. Setiap tarikan napas seperti mencuri sedikit hidup dari tubuhnya sendiri, tetapi ia tetap berdiri melawan air yang terus datang dari segala arah.

“Haruskah aku berhenti?” begitu jerit batinnya.

Namun ia tahu, selama tangannya masih bergerak, selama Fitria masih bernapas, ia tidak akan membiarkan perempuan itu hilang begitu saja dalam gelap banjir malam itu.

Berlanjut ke bagian 3

Penulis : Zaman Huri
Sumber : Saksi hidup: Maswani, Sulaiman, Husaini dan Muhammad