Berita  

Bagian 3 Perjuangan ASN: Menembus Banjir, Menantang Takdir

Ketika Malam Membawa Kabar yang Tak Ingin Didengar

Foto/ Zaman Huri

Meskipun baru mengenal Fitria pada hari itu, Maswani terus berjuang mempertahankannya di permukaan air. Tangannya yang mulai mati rasa tetap mencengkeram, seolah menolak takdir apa pun yang ingin memisahkan mereka.

Langit masih hitam pekat ketika detik-detik panjang itu berlangsung. Di tengah gemuruh arus yang tak kunjung reda, tubuh Maswani dan Fitria terseret semakin jauh, hanya mengandalkan insting untuk tetap berada di atas permukaan. Cahaya temaram lampu panel surya dari sebuah rumah yang terendam tampak seperti titik-titik samar yang bergerak menjauh, seakan dunia yang mereka kenal perlahan ditelan air.

Di kejauhan, Husaini dan Sulaiman terus meneriakkan nama mereka. Suara-suara yang pecah itu hampir tak terdengar, tenggelam di antara gelegak arus sungai. Mereka tak sanggup menembus dinding air yang memisahkan satu sama lain. Meski tangan-tangan terulur, jarak itu terlalu jauh, dan setiap upaya hanya akan memunculkan korban baru.

Dalam kecemasan yang makin menegang, Husaini berteriak histeris,
“Tolong! Bantu! Itu teman saya! Bu Fitria… Bu Fitria…!”

Satu hantaman arus berikutnya datang lebih kuat, lebih tak terduga, menghancurkan sisa-sisa upaya yang masih bertahan. Tubuh Fitria terlepas dari genggaman Maswani. Ia sempat meraih kembali, namun tangan perempuan itu menghilang dalam riak air yang berputar seperti ingin menelan seluruh dunia.

Dalam redup lampu solar panel dari sebuah rumah di pinggir jalan, Husaini melihat tubuh Fitria terseret jauh. Momen itu terasa bergerak sangat lambat. Bayangan tubuh perempuan itu hanyut ke arah dua lelaki yang lebih dulu tersapu arus dan kini bertahan pada batang pohon mangga. Dengan sisa tenaga, Husaini kembali berteriak,
“Tolong! Bantu Bu Fitri! Dia teman saya!”

Dengan tenaga terakhir yang mereka punya, kedua lelaki itu mengulurkan tangan sejauh mungkin, mencoba meraih apa pun yang masih bisa diselamatkan.

Dan mereka berhasil.

Mereka menarik Fitria dengan seluruh tenaga yang tersisa, membopong tubuhnya yang basah, kaku, dan tak lagi bergerak. Dalam cahaya temaram di bawah hujan yang tak ada jedanya, keduanya tahu perempuan itu telah tiada. Nafas yang tadi memohon pertolongan telah berhenti. Suara lirihnya yang ketakutan kini telah menjadi bagian dari riuh malam yang tak menjanjikan apa pun selain kehilangan.

Namun mereka tidak melepaskan tubuh itu kembali ke air. Tidak. Mereka menolak menambah satu lagi jejak tragis pada malam yang sudah terlalu kelam.

Husaini berteriak, suaranya pecah,
“Kiban, Bu Fitri?!”

Salah seorang dari mereka menjawab pelan,
“Ka hana le…”
(sudah tiada).

Husaini menangis sejadi-jadinya. Dalam benaknya hanya satu nama yang terus berputar, Fitria. Teman yang ia kenal baik. Sosok peramah yang membuat siapa pun merasa dekat. Padahal mereka berasal dari instansi berbeda, sekolah berbeda, tetapi kedekatan mereka terbangun oleh kebersamaan, kerja sama, dan saling percaya.

Beberapa jam sebelumnya, mereka masih berbagi cerita, tawa, dan perjuangan menghadapi bencana ini bersama. Kini, semua itu berubah menjadi kenangan yang menusuk. Mendengar kabar kematian Fitria, Husaini seperti kehilangan pijakan. Kata-katanya melantur, tubuhnya gemetar. Luka itu bukan hanya karena kehilangan seorang teman, tetapi kehilangan seseorang yang beberapa jam lalu masih ada, hidup, berjuang di sampingnya.

Malam itu membawa kabar yang tak pernah ingin didengar siapa pun. Dan bagi Husaini, malam itu merenggut sebagian dari dirinya.

Berlanjut ke Bagian 4.

Penulis : Zaman Huri
Sumber : Maswani, Husaini, dan Sulaiman