Delapan moda transportasi terpakai tuntas selama dua hari perjalanan dari Banda Aceh ke Lhokseumawe. Becak penumpang, bus L-300, becak barang, mobil pick up, bus Hiace, boat ikan, becak ikan, mobil Avanza, dan terakhir naik motor untuk sampai ke rumah. Menempuh waktu 27,5 jam laksana adventure di alam liar.
Pada Jumat, 28 November 2025, hari ketiga sejak banjir besar melanda Aceh, sekitar pukul 09.00 saya berangkat dari kawasan Peunayong Banda Aceh naik becak ke terminal bus Lueng Bata. Loket sepi. Saya bersama dua orang teman menunggu di pinggir jalan depan terminal. Berharap ada angkutan umum ke arah timur. Sebuah bus Hiace muncul. Tapi ambil penumpang cuma sampai Beureunuen. Tak ada yang sampai Lhokseumawe. Kami tunggu lagi. Lebih dari dua jam lamanya. Berharap ada bus yang bergerak lebih jauh. Sebuah L-300 melintas. Tapi hanya berani sampai Meureudu. Itupun masih hitung-hitungan dengan genangan. “Jika genangan banjir masih tinggi, kami sampai Trieng Gadeng saja,” kata supir.
Kami tunggu lagi. Seorang agen menjanjikan ada L-300 yang berani jalan sampai ke Bireuen. Akhirnya jelang pukul 12.00 bus L-300 itu datang. Kami penumpang pertama mereka. Menunggu beberapa saat, datang lagi lima penumpang. Ada yang ke Meureudu, Bireuen, Idi dan Peudawa. Akhirnya L-300 itu bergerak perlahan. Tak jauh dari Banda Aceh jalanan mulai berhias lubang-lubang bekas banjir dan hujan. Banyak aspal terkelupas. Terkeping-keping diseret air.
Setelah sekitar satu jam, supir menghentikan bus di warung makan sekitar Saree. “Tron mandum, pajoh bu inoe, pajoh bu beu le aju, takot hana warong eunteuk,” kata supir. Kami semua turun. Makan dan shalat zuhur. Tak terdengar azan Jumat. Mungkin tak ada masjid yang dekat.
Usai makan, bus kembali bergerak. Melintasi lereng gunung Seulawah hingga Padang Tiji. Di sini mulai terlihat dampak besar deraan banjir. “Kemarin di sini tidak bisa lewat mobil,” ungkap seorang penumpang. Menjelang Grong Grong kondisi di kiri kanan jalan lebih terasa bekas bencana. Genangan banjir, lumpur tebal menutupi pemukiman. Kondisi serupa hingga ke Kota Sigli.
Di jalan raya jelang terminal Sigli genangan masih menutupi badan jalan. Supir menjalankan mobil dengan hati-hati. Beberapa rumah dan kantor pemerintah masih terendam. Sepanjang Kabupaten Pidie kondisi tak jauh berbeda.
Memasuki Lueng Putu (Kabupaten Pidie Jaya) genangan banjir nampaknya belum lama berlalu. Arus deras masih terlihat dalam sungai kecil yang mengitari Lueng Putu. Bangunan rusak, lumpur tebal. Belum ada toko yang buka. Di Paru dan Pante Raja banyak aspal terbelah. Berkeping-keping. Terlihat juga lumpur tebal menggenangi jalan, rembesan dari perbukitan Paru. Di SPBU tak ada BBM. Puluhan kendaraan parkir di sana. Sepertinya menunggu pasokan bahan bakar untuk bisa melanjutkan perjalanan.
Adee Kak Nah yang Fenomenal
“Bang neupiyoh bak Adee Kak Nah, beh!” seru seorang penumpang di baris belakang. Langsung disambut ketawa oleh penumpang lain. Mereka yakin penumpang itu maksud bercanda, karena warung Adee Kak Nah letaknya persis di dekat jembatan yang runtuh.
“Tanyoe lewat jalan alternatif di Meureudu,” jawab supir.
Saat itu bus sampai di Trieng Gadeng. Jembatan di jalan lintas Sumatera kawasan Meureudu rubuh dua hari sebelumnya. Banyak orang menyebut itu sebagai jembatan Adee Kak Nah. Letaknya di simpang tiga menuju Pangwa. Adee Kak Nah, kue khas Meureudu, yang kerap dibeli pelintas sebagai oleh-oleh, buka outlet di ujung jembatan itu. “Tapi meunyoe golom lewat u Ulim, kakeuh malam nyoe ta eh di Meureudu,” tambah supir lagi, membuat adrenalin kami mulai berkibar.
Meureudu, ibukota Pidie Jaya, kawasan bencana paling parah. Alih-alih jika kami harus bermalam di pusat bencana. ” Kapaloe, bisa terperangkap di sini kita!” kata ibu Cicik, teman kami, dengan wajah cemas.
Lumpur Tebal Membenam Kota Meureudu
Benar rupanya, Kota Meureudu masih cukup dalam tergenang. Lumpur tebal sampai sepaha di mana-mana. Banyak mobil dan motor terbenam. Rumah dan pertokoan rusak berat. Seperti habis diamuk gajah. Genangan di jalan tersisa 20 – 40 cm. Bang supir terus menjalankan bus dengan pelan dan cekatan. Sebagai satu-satunya jalan alternatif, jalur ini juga banyak dilintasi kendaraan dari arah berlawanan. Titik-titik tertentu jadi macet. Ditambah lagi mobil-mobil warga setempat diparkir di badan jalan, tempat yang aman dari terjangan banjir.
Alhamdulillah, akhirnya bus ‘mendarat’ lagi ke jalan raya lintas Sumatera di kawasan Ulim. Perjalanan ke Ulee Gle lancar. Bus masuk SPBU. Tapi ternyata di sini juga kosong BBM. Banyak mobil dan motor dalam area SPBU. Seorang Bapak membawa becak barang sarat penumpang, sejak pagi menunggu bensin. Menurut informasi, SPBU sedang menunggu pasokan minyak dari Lhokseumawe. Oh tidak! Tidak mungkin! Jembatan Kutablang di Bireuen hanyut. Hanya mimpi jika menunggu BBM dipasok hari ini dari depot Pertamina Lhokseumawe.
Namun bus kami masih bisa melaju. Jika SPBU berikutnya juga tidak ada solar, bisa jadi L-300 ini terhenti perjalanannya. Kami melintasi kawasan wisata Batee Iliek. Sejumlah anak santri memberhentikan bus. Bus jadi benar-benar sarat penumpang.
”Dek, di pat dayah yang rubah barosa?” tanya saya, teringat video sebuah bangunan dayah yang rubuh tergerus banjir dan longsor di kawasan Batee Iliek.
“Oh, inan Pak, hana jioh,” jawab seorang santri seraya menunjuk pinggiran sungai Batee Iliek. Sejenak saya melihat arus sungai yang cukup kencang. Airnya keruh sekali. Beda dari hari-hari sebelumnya, airnya jernih dan tenang, nyaman untuk wisata pemandian alam.
Mesjid Penuh Sesak, Nyaris Tak Tersisa Celah untuk Shalat
Akhirnya bus tiba di Bireuen sekitar pukul 17.30. Kami minta tolong diantar sampai ke jembatan Kutablang (jembatan yang rusak). Tapi supir bilang bus sudah habis minyak. Akhirnya kami naik becak sejauh 17 Km untuk sampai ke jembatan Kutablang. Tiba di sana menjelang magrib. Berpikir masih ada rakit. Ternyata setibanya kami di sana rakit henti beroperasi. Meskipun rakit kecil yang cuma muat 3 orang, setidaknya ada harapan untuk menyeberang.
Ribuan orang sudah antri di sini. Badan jalan penuh manusia. Meluber hingga atas jembatan yang tersisa. Di mesjid juga penuh sesak. Nyaris tak tersisa celah untuk shalat. Tidak jauh dari ujung jembatan, di sisi jalan kampung, ada sebuah dapur umum. Kami merapat ke sana. Saya coba cari informasi, siapa tahu ada jalan alternatif untuk menyeberang. Misalnya, lewat jembatan Kuala Ceurapee di utara. “Hanjeut Bang, tutue Kuala Ceurapee rusak chit,” kata seorang penduduk.
Patah harapan. Untuk membunuh suntuk, akhirnya kami nongkrong ramai-ramai menghirup aroma gorengan kepala ikan asin di dapur umum itu. Satu-satunya menu makan malam. Ternyata sangat enak sekali. Saya berpikir ternyata nikmat sekali kita makan kalau kondisi betul-betul lapar. Walaupun nasinya terasa meuteut-teut karena kurang matang. Sempat juga saya berpesan kepada perut: bersabarlah wahai perut, walau nasi meuteut-teut, jangan bikin ribet.
Magrib berlalu. Gelap merayap di ujung jembatan itu. Sejak tiga hari lalu mati lampu. Lima batang tower jaringan PLN tumbang di kawasan Bireuen. Listrik setengah Provinsi Aceh padam total.
Dalam gelap itu saya coba pakai senter HP untuk berjalan. Maklum lumpur di sini masih cukup tebal. Kalau salah arah, kaki bisa terbenam sampai selutut. Saya masih terus mencari informasi, siapa tahu ada alternatif jalan untuk bisa sampai ke Lhokseumawe.
Entah Peri Entah Malaikat
Jelang pukul 22.00, seorang laki-laki menghampiri saya. Menanyai hendak ke mana. Saya bilang mau pulang ke Lhokseumawe. Dia menawarkan pulang naik boat ikan dari Kuala Jangka ke TPI Krueng Mane. Waah, ini pertolongan memang datang dari arah tak disangka-sangka. Langsung mencuat kembali semangat saya. Jangan-jangan laki-laki ini adalah malaikat, ya kan.
Saya segera beritahu teman. “Ibu Cicik, ibu Yus, kita pulang naik boat lewat laut, berani nggak?” Sangat cepat mereka mengangguk. Sedikit sumringah. Gurat cemas di wajah ibu-ibu ini sejenak lenyap. Padahal tadi tampak sudah putus harap. Duduk letih di tangga mesjid beratap langit. Kedua ibu ini bekerja di Kantor Bupati Aceh Utara. Pada Rabu kemarin kami sama-sama menghadiri kegiatan Ombudsman RI di Banda Aceh.
Kami diangkut naik pick up ke Keude Matang Glumpang Dua. Sekitar 30 orang. Pick up berjalan gontai. Penuh orang bergantungan kiri-kanan dan belakang. Tiba di Keude Matang kondisi gelap dan senyap. Jarum jam hampir lewat angka 11. Kami diarahkan ke jalan menuju Kecamatan Jangka. Baru seratus meter jalan kaki, mendadak lelaki yang mengajak kami tadi hilang dalam kegelapan. Kami kehilangan guide. Agak lama kami tunggu. Tak lagi kembali laki-laki itu. Dia seperti peri yang menuntun arah, dan kemudian mendadak lenyap seperti malaikat.
“Bapak – Ibu ho neuk jak?” tanya seorang warga setempat.
“Kamoe jipakat jak u Jangka, jipeugah na boat yang ba penumpang u Krueng Mane.”
”Soe yang pakat, Pak? Jangka jioh 5 kilo dari sinoe, Pak.”
Kapaloe, tadi kami pikir mau jalan kaki ke sana. Ternyata 5 Km jaraknya. Gelap pula. Sinyal HP tak ada. Makanan apalagi. Kami balik lagi ke Keude Matang, dengan menyimpan sejuta putus asa. Adrenalin dan energi kami nyaris terkuras semua.
Di simpang lampu merah kami disapa seorang Bapak. Sepertinya beliau dari tadi memantau situasi. Usai menyapa beliau langsung memberi informasi yang sangat terpercaya. Betul ada penyeberangan lewat laut dari Jangka ke Krueng Mane. Jarak sekitar 20 Km. Tapi tidak untuk malam hari. “Singoh beungoh poh 6 merapat aju keunoe, long preh inoe. Long intat awak droeneuh u Kuala Jangka. Ongkoh 130 ribee sidroe.”
Alhamdulillah. Agaknya ini info akurat. Kami lega. “Berarti malam ini kita harus bermalam di Matang,” terdengar suara ibu Cicik. “Di mana ada penginapan.”
Hotel Rasa Asrama
Tak lama kemudian kami sudah berada di becak menuju penginapan. Satu-satunya penginapan yang lumayan besar di Matang Glumpang Dua. Dari jalan, hotel itu tampak gelap, sama seperti deretan pertokoan di sebelahnya. “Tidak ada listrik, tidak ada air, Bu. Kalau mau ambil kamar, boleh, tapi kondisinya ya seperti ini,” kata resepsionis, anak muda, sepertinya juga owner.
“Cukup untuk cebok aja gak apa-apa, Bang.”
“Untuk pipis pun tak ada air, Bu. Kami sendiri harus beli air per galon untuk ngisi kamar mandi.”
Saya lihat dia agak berat juga untuk menyewakan kamar. Dia sempat bilang, bagaimana jika tamu meninggalkan ‘jejak’ di toilet. Tentu sangat berat untuk dibersihkan. Akhirnya kami paham.
Mungkin tak tega melihat kondisi kami yang kepayahan pada jam-jam jelang tengah malam, anak muda itu akhirnya mengambil sikap bijak. Kami disuguhi tidur di aula hotel. Disediakan kasur yang biasanya untuk ekstra bed di kamar. Bayarnya cuma Rp.50 ribu untuk tiga orang, plus untuk beli air bersih satu galon Rp.30 ribu. Sebenarnya aula itu dipakai untuk keluarga dekat pemilik hotel yang baru dievakuasi dari perkampungan sekitar Matang.
Alhamdulillah, malam itu saya tidur lelap sekali, sembari berharap tidak sesak pipis atau BAB pada tengah malam. Kalau sempat itu kejadian, waduh!! Kacau!! Wkwkwkwk….
Bang Aden dan Boat Nelayan Kloter 2
Pagi-pagi benar saya terbangun. Membuka pintu menuju depan hotel mencari debu. Untuk apa? Untuk tayammum wooii. Shalat subuh kan nggak bisa dijamak. Daripada harus mengkadha, kan lebih bagus wudhuk dengan tayammum.
Ibu Cicik dan ibu Yus juga sudah terbangun di aula perempuan. Mereka langsung siap-siap menuju ke titik yang semalam dijanjikan. Simpang lampu merah Keude Matang. Benar rupanya, setiba kami di situ sudah ramai yang menunggu. Ada satu rombongan yang telah diangkut ke Kuala Jangka. “Berarti tanyoe teulat,” kata ibu Yus. Saya lihat jam di tangan. Belum jauh beranjak dari angka 6. Ini benar-benar seperti jadwal penerbangan. Disiplin benar Bapak yang tadi malam itu.
Tidak sampai satu jam kami menunggu, sebuah bus Hiace datang dari arah Jangka. Disupiri Bapak itu. Buru-buru dia langsung meminta kami naik bus. “Awak droeneuh mandum nyoe Kloter ke-2, bunoe kalheuh long intat saboh Kloter u Jangka” candanya. “Harus tajak bagah-bagah, nyoe ka jipreh le awak boat,” lanjut Bapak itu memberi tahu. Terakhir kami tahu namanya Bang Aden. Tegas, jelas, serius, dan amanah. Begitu saya tangkap karakter dia. Tiba di kuala Jangka Bang Aden mengutip ongkos bus dan biaya boat Rp.130 ribu per orang.
Saya melihat sekitar seratus lima puluh orang sudah memenuhi pinggiran kuala. Yang Kloter pertama ternyata belum menyeberang juga. Katanya, ada penemuan mayat hanyut dekat kuala. Saat ini sedang di-kifayah-kan di mesjid. Mayat itu katanya hendak dipulangkan ke Lhoksukon, Aceh Utara. Diantar pakai boat ikan. “Jenazah harus lebih dulu diangkut, setelah itu baru boleh mengangkut orang,” kata Bang Aden meneruskan titah seseorang yang disebut sebagai Abu Laot.
Menunggulah kami di sana. Lebih dari satu jam. Tapi jenazah itu tak datang-datang. Justru Abu Laot yang muncul ke sana. Dilakukan negosiasi. Akhirnya diizinkan juga boat-boat itu mengangkut orang menyeberang ke TPI Krueng Mane. Satu per satu penumpang meloncat ke dalam boat. Mereka adalah yang lebih awal tiba di Jangka. Ada yang kemarin petang. Ada yang tadi malam. Mereka menginap di pinggir kuala. Di jambo singgah nelayan. Sedangkan kami yang tiba tadi pagi, harus menunggu giliran berikutnya. Penyeberangan Kloter kedua. Ramai juga calon penumpang. Sudah sebelas unit boat bergerak. Setiap boat diisi 10 penumpang. Ada penumpang yang memaksa lebih. Langsung disuruh turun oleh Pawang.
Saat giliran tiba, Bang Aden memanggil kami yang berdiri di pelataran TPI. “Nyoe 2 boat jatah awak droeneuh,” jelasnya. Kami segera melintas anak sungai dengan kedalaman sebetis orang dewasa. Ibu Cicik, Ibu Yus, dan dua perempuan yang hendak pulang ke Medan, berjalan jinjit setelah membuka sepatu. Menjinjing tas dan koper. Saya yakin ini adalah ‘petualangan’ paling jarang bagi mereka. Setelah kemarin berlumpur-lumpur di daratan, sekarang kembali berlumpur hitam di kuala.
Perlahan boat bergerak meninggalkan mulut kuala. Mengarah ke utara, laut lepas. Setelah hampir 1 mil, haluan menuju ke timur. Alhamdulillah cuaca cukup bersahabat. Sinar matahari cerah merona setelah sepekan langit menangis dan temaram. Semua penumpang diam. Tak ada yang buka suara. Entah terhalang oleh suara mesin boat yang sangat lantang. Sangat sulit terdengar kalaupun hendak bercakap-cakap. Satu-satunya solusi adalah memakai bahasa isyarat. Ibu Yus yang duduk di sebelah saya juga diam saja. Jaraknya hanya 50 cm dengan knalpot mesin boat. Dengan isyarat tangan saya tunjuk-tunjuk ke arah telinga dia dan knalpot. Dia membalas dengan isyarat jempol tangan. Aman. Rupanya dia telah dari tadi menyumpal telinganya dengan balutan ujung jilbab. Biar tidak pekak.
Adrenalin Muncrat Melihat Espresso Cappucino
Melintas laut saat daratan sedang banjir besar, ternyata suasananya jauh berbeda. Anda akan disuguhi air laut yang keruh laksana kopi sanger yang kelebihan gula. Potongan kayu bertebaran di mana-mana. Bahkan juga batang pohon utuh terseret ke tengah laut sampai jauh dari mulut muara. Saya sebenarnya belum pernah naik boat ikan. Saya termasuk phobia laut. Kali ini terpaksa membunuh habis phobia tersebut, dengan cara menatap lautan di kejauhan sana. Saya menghayal itu adalah areal persawahan yang sedang menghijau oleh padi usai tanam satu bulan.
Ibu Yus, tadi katanya, juga mabuk laut. Jangankan naik boat ikan, naik ferri saja dia tidak tahan. Tapi kali ini dia selamat, sepanjang sekitar 1 jam perjalanan dia tidak apa-apa. Saya lihat tadi dia asyik memilin-milin jilbabnya, merapatkan ke lubang telinga. Mungkin sebuah cara untuk mengusir mual dan phobia.
Adrenalin saya mendadak kembali muncrat saat tiba di mulut muara sungai Kuta Blang (sungai Peusangan). Air laut di sini lebih pekat daripada kopi espresso cappuccino. Pawang melambatkan laju boat. Mesin tidak lagi lantang. Di depan banyak potongan kayu dan aneka sampah. Ombak dan gelombang lebih ganas. Menampar-nampar dinding boat dengan kasar. Boat serasa loncat-loncat. Seperti naik Honda Vario di jalan rusak. Lebih dari 15 menit kami melintasi area muara Sungai Peusangan, yang di daratan sana jembatannya putus total, dan membuat kami harus melewati jalur laut.
Perjalanan kembali tenang saat boat mulai memasuki pantai Krueng Mane. Kami didaratkan di TPI (Tempat Pendaratan Ikan). Di sini sudah menunggu beberapa becak barang yang biasanya mengangkut peti ikan. Tapi kali ini mereka tidak menunggu peti, melainkan orang-orang yang sedang mencari jalan pulang.
Tak lama kami menunggu di simpang TPI Krueng Mane, muncul bus L-300 yang akan membawa kami ke Lhokseumawe. Sepanjang jalan terlihat sisa-sisa bencana yang sangat kentara. Keude Bungkaih luluh lantak. Pertokoan rusak berat dihantam banjir setinggi 2 meter. Untung jembatan di sini sangat tangguh. Besi-besi dan aspal lantainya masih cukup bagus, meski jalannya tergerus. Di simpang kampus Unimal Kecamatan Dewantara hingga simpang KKA pemandangan cukup tragis. Genangan di sini masih selutut. Ketinggian banjir di sini sempat mencapai 2,5 meter. Saya lihat penanda pada dinding pagar Dayah Syamsyudduha Cot Murong yang tersisa. Pagar beton dayah ini roboh diterjang air bah. Saya bisa bayangkan dahsyatnya deraan bencana di sini. “Kemarin dua mayat dievakuasi di simpang ini,” kata supir L-300 saat melintas simpang kampus Unimal.
Tiba di Batuphat bus masuk ke SPBU. Antrian BBM sudah meluber sampai jauh. Bus kami masuk antrian. Tapi tiba-tiba ibu Cicik bilang begini, “kita turun di sini saja, kita dijemput oleh adik saya,” katanya. Benar tak lama kemudian kami dijembut mobil Avanza menuju ke Cunda. Di sana Bunda Ulie, istri saya, sudah menunggu dengan cemas. Dia memeluk saya sambil mengelap-ngelap mata. Kami bersepeda motor ke rumah.
Begitulah Sis, Bro, saya tulis ini sekadar catatan pribadi. Perjalanan Banda Aceh – Lhokseumawe biasanya cuma 5 jam, kali ini laksana menempuh belantara selama 27,5 jam. Alhamdulillah, akhirnya tiba di rumah sekitar pukul 12.30 siang. Disambut istri dan anak-anak yang sejak kemarin cemasnya memuncak.***
27,5 Jam Perjalanan Yang Menguras Adrenalin
Oleh Muhammad Nasir Age
