Husaini masih terpaku pada tubuh Fitria yang terbaring kaku di atas dipan darurat, tempat seadanya yang dibuat oleh dua lelaki yang tadi menolongnya. Mereka menaruh triplek tipis di atas cabang pohon mangga yang menjulang seperti penjaga tua. Di sanalah tubuh itu direbahkan, sedikit lebih tinggi dari permukaan air yang terus bergerak mencari mangsa baru. Dari tempatnya berdiri, Husaini hanya mampu menatap siluet berbalut mantel hijau yang tak lagi bergerak.
Hujan deras menggesekkan daun-daun mangga dengan suara lirih yang menambah syahdu suasana, seakan alam pun sedang berduka. Dari segala arah, terdengar suara orang teriakan meminta pertolongan, panggilan panik mencari anggota keluarga, atau sekadar suara rintihan untuk meyakinkan diri bahwa mereka masih hidup. Tetapi semua suara itu seperti teredam oleh dinding emosional yang membungkus Husaini. Dunia mendadak terasa jauh, kabur, dan tak lagi bersuara.
Ia berdiri mematung, menahan guncangan yang menyeruak dari dadanya. Air dingin merayap naik hingga dada, namun hawa beku itu tak seberapa dibandingkan dingin yang menusuk hatinya. Fitria yang siang tadi masih tersenyum, masih sempat memberikan nasihat agar ia tidak panik, masih sempat tertawa kecil tentang hal-hal sepele kini terbaring tanpa suara.
Ingatan Husaini berputar kembali, seperti kaset lama yang dipaksa berjalan mundur. Siang hari itu, mereka baru saja selesai mengamankan inventaris sekolah masing-masing. Hujan turun deras, tapi belum segila beberapa jam sesudahnya. Air baru setinggi betis, dan meski deras, masih memungkinkan berjalan sambil berpegangan pada dinding-dinding ruko yang mulai basah hingga separuh.
Fitria sudah berada di depan Star Kids ketika Husaini keluar. Di tangannya ada bungkusan plastik berisi sayur dan ikan belanjaan yang dibawanya dari pasar. Jilbabnya basah, tetesan air mengalir di pipinya, tapi sorot tegas di wajahnya tidak redup sedikit pun.
“Kok masih ke pasar?” tanya Husaini sambil mengerutkan kening, separuh heran, separuh tak percaya.
Fitria tertawa kecil, tawa yang meski teredam hujan tetap terdengar hangat.
“Orang lapar tetap harus makan. Lagian… kalau nanti tidak bisa ke mana-mana, minimal ada bekal untuk beberapa hari.”
Husaini tak bisa menahan senyum, meski ia menggeleng pelan. Fitria memang seperti itu memikirkan hal-hal yang sering terlewat oleh orang lain. Dalam situasi paling genting sekalipun, ia masih mampu menimbang kebutuhan dasar dengan sederhana namun teliti, seperti seorang ibu yang tak pernah berhenti memastikan semua orang di sekitarnya aman.
Namun keadaan berubah cepat. Saat air naik ke pinggang, dua lelaki yang tidak mereka kenali menghampiri dan membantu menuntun Fitria agar tidak terseret arus di persimpangan daerah yang arusnya terkenal paling kuat. Mereka menuntunnya perlahan, langkah demi langkah, namun Fitria tetap enggan melepaskan bungkusan belanjaannya.
Husaini ingat jelas bagaimana ia berteriak dengan nada memaksa,
“Bu, lepaskan saja! Itu tak penting!”
Fitria menoleh, wajahnya tegas namun tetap ramah, lalu berkata,
“Ini bekal. Bisa jadi penyelamat.”
Kalimat itu sederhana. Tetapi kini, kalimat itu menghantam Husaini lebih keras dari derasnya banjir. Seolah bungkusan plastik itu bukan sekadar belanjaan, melainkan simbol kecil dari cara Fitria menghadapi hidup tenang, terukur, dan selalu memikirkan orang lain.
Menjelang sore, ketika arus menerjang semakin kuat, Husaini melihat bungkusan plastik itu terlepas dari genggaman Fitria. Ia melihatnya melayang perlahan, terombang-ambing di antara batang pisang, potongan kayu, dan sampah rumah tangga yang hanyut tanpa arah. Warna putih plastik itu mencolok di tengah warna coklat keruh air, seperti ingin mengatakan bahwa ia masih ada, masih ingin bertahan.
Dalam hitungan detik, plastik itu tersapu arus dan menghilang di balik tikungan jalan yang telah berubah menjadi sungai liar.
Di kepala Husaini, bayangan lain muncul momen ketika Sulaiman meminta perempuan-perempuan yang bersama mereka untuk tidak ikut menyeberang saat di depan Pegadaian. Kala itu, mereka hendak mencari tempat lebih aman ketika air mencapai batas yang membuat kaki manusia tak lagi punya peran.
Sulaiman meminta mereka naik ke atas genset besar di depan Pegadaian, satu-satunya tempat yang masih sedikit lebih tinggi dari air. Tempat itu sempit, hanya cukup untuk beberapa orang, dan diperuntukkan bagi wanita. Ada empat perempuan di sana, termasuk Fitria.
Entah bagaimana, entah keputusan siapa, atau barangkali karena naluri ingin menuju surga, Fitria ikut menyeberang di belakang tanpa diketahui Sulaiman, Husaini, dan Maswani. Keputusan kecil yang tidak pernah ia rencanakan, tetapi hari itu mengubah segalanya.
Kini, saat Husaini menatap mantel hijau yang membalut tubuh Fitria di atas papan darurat itu, ia seperti melihat kembali bungkusan plastik yang hanyut. Berputar pelan, terseret arus, lalu menghilang tanpa sempat disentuh.
Dan seperti itulah rasanya kehilangan Fitria datang cepat, tak terduga, dan meninggalkan kekosongan yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Hujan terus turun, air terus naik, namun waktu seakan berhenti di dada Husaini.
Kenangan-kenangan kecil itu mengapung bersamanya di tengah banjir fragmen yang ingin ia genggam, namun terus menjauh, satu per satu. Fitria telah pergi, tetapi jejaknya, ketegasannya, tawanya, dan bungkusan sayur serta ikan yang tak sempat dimasaknya… semuanya tetap mengambang, tak benar-benar hilang dari ingatan.
Berlanjut ke Bagian 5
