Berita  

Bagian 5 Perjuangan ASN: Menembus Banjir, Menantang Takdir

Shalat Isyarat di Tengah Banjir

(foto/ Zaman Huri)

Di tengah hiruk-pikuk banjir yang menelan seluruh Aceh Utara, Husaini tetap berusaha mempertahankan sesuatu yang paling ia yakini: shalatnya. Ia tidak pernah meninggalkannya, bahkan ketika seluruh dunia di sekitarnya terasa runtuh; bahkan ketika kaki tidak lagi menjejak tanah karena arus terlalu kuat; bahkan ketika tubuhnya sendiri menjadi rapuh seperti daun pisang yang terombang-ambing.

Hari pertama terjebak banjir, ia masih mampu mencatat waktu secara samar Zuhur, Asar, Magrib, Isya. Pada hari kedua, ia sempat menunaikan Subuh dan Zuhur. Semua itu ia lakukan dengan isyarat, dengan tubuh setengah tenggelam, dengan rasa takut yang setiap saat bisa berubah menjadi kenyataan pahit.

Ketika Magrib tiba pada hari pertama, lokasi mereka sudah berpindah-pindah sampai akhirnya mereka bertahan di depan Pegadaian. Di sana, Husaini memeluk sebuah tiang sekuat tenaga. Jari-jarinya perih, telapak tangannya lecet oleh permukaan logam yang kasar, tetapi ia tidak melepaskan pegangan barang sedetik pun. Arus air yang lewat seperti tangan besar yang terus berusaha merenggut tubuh-tubuh yang tersangkut di sana.

Ketika azan Magrib terdengar mendadak dari salah satu ponsel yang masih hidup, Husaini terpaku. Suaranya pelan, teredam hujan, kadang putus-putus karena perangkat itu mulai rusak atau sinyal yang tidak stabil. Namun baginya, suara itu lebih lantang dari gemuruh alam yang sedang mengamuk.

“Allahu akbar… Allahu akbar…”

Mata Husaini memanas. Dalam kondisi normal, azan hanyalah panggilan ibadah yang rutin, sehari-hari. Tetapi magrib itu, azan berubah menjadi tali halus yang menahan kewarasannya agar tidak putus seperti bisikan lembut yang menenangkan jiwa paling guncang sekali pun.

Ia memejamkan mata, membiarkan lantunan azan itu meresap ke dalam pori kulitnya, masuk ke aliran darah, menyatu dengan degup jantung yang tak beraturan. Arus menampar wajahnya tanpa ampun, namun ia tidak bergeser. Tubuhnya kaku memeluk tiang, tetapi yang paling kaku adalah tatapannya yang kosong seolah ia sedang menatap sesuatu yang tak terlihat oleh mata manusia lain.

Sulaiman, yang berdiri tidak jauh dari situ, sempat memanggilnya. “Husaini! Kau dengar? Husaini!”

Suara itu tidak dijawab.

Sulaiman mendekat sejauh yang ia mampu, memegangi tali tambang yang diikat untuk menahan dirinya dari arus. Ia memanggil lagi, “Hus! Kau kenapa? Husaini!”

Namun Husaini tetap diam. Ia seperti membeku, padahal tubuhnya tengah bergetar hebat karena kedinginan. Sulaiman heran, lalu cemas, namun ia tidak tahu bahwa di balik diam itu, Husaini sedang melakukan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar bertahan dari banjir.

Ia sedang melawan ketakutannya sendiri.

Ia sedang membuktikan kepada dirinya bahwa masih ada sesuatu yang tegak di tengah dunia yang runtuh, shalatnya.

Ketika azan itu berakhir, Husaini menarik napas yang terdengar patah. Ia menundukkan kepala semampunya, hanya beberapa sentimeter karena lehernya terbatas oleh pelukan pada tiang. Dalam hati, ia membaca niat Magrib. Bibirnya bergetar, tak mampu membentuk suara, tetapi ia tahu Allah mendengar yang tak terucap.

Air merambat naik hingga ke bahunya. Sesekali gelombang besar datang menampar tubuhnya hingga ia hampir terlepas dari tiang. Ia tahu jika itu terjadi, tubuhnya akan dibawa arus ke arah gelap yang bahkan lampu-lampu rumah tenggelam pun tak bisa menembusnya. Namun ia tetap bertahan.

Ia melakukan rukuk hanya dengan menundukkan kepala sedikit lebih dalam, dan sujud hanya dengan menundukkan niat, menurunkan jiwanya sedalam-dalamnya, sementara tubuhnya masih menempel pada tiang yang sama.

Di tengah raungan banjir, Husaini sedang berdialog dengan Tuhannya.

Sulaiman masih memperhatikannya dari samping, tidak sepenuhnya paham. “Hus… kau kenapa? Kau dengar aku, kan?”

Setiap kali ia memanggil, Husaini tidak menjawab. Sulaiman tidak tahu bahwa di dalam kepala Husaini ada suara lain yang ia ikuti, kekuatan lain yang ia pegang, lebih kuat dari tiang yang ia peluk.

Malam itu, Magrib terasa seperti ritual pamit kepada dunia yang mungkin tidak akan ia temui lagi esok pagi. Namun justru karena itu, ia ingin memastikan bahwa ia kembali kepada Allah dalam keadaan bersujud, meski hanya dengan isyarat. Sebuah kelegaan kecil, seperti napas pertama setelah tenggelam terlalu lama.

Apakah suara langit…

Husaini menunggu azan Isya dari ponsel yang tadi sempat berbunyi, tetapi tak terdengar lagi. Baterai itu agaknya sudah menyerah, sama seperti banyak hal lain yang tumbang hari itu. Ia menelan ludah perlahan, mencoba menebak waktu hanya dari gelap yang semakin rapat. Namun gelap di tengah banjir tidak pernah benar-benar memberi petunjuk, semuanya samar, abu-abu, menakutkan.

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara azan. Sayup, pecah-pecah, seperti datang dari balik dinding hujan. Husaini tertegun. Ia tidak tahu dari mana sumbernya. Apakah dari masjid yang masih bertahan? Dari meunasah di tanah tinggi? Rasanya mustahil, wilayah itu sudah tenggelam lebih dulu. Listrik padam sejak sore, pengeras suara pun seharusnya tidak menyala.

Ia menajamkan telinga. Suara itu kembali terdengar, sedikit lebih jelas:

“Allahu akbar… Allahu akbar…”

Husaini merasakan sesuatu merambat di punggungnya bukan dingin banjir, melainkan getar yang sulit ia jelaskan. Hatinya teraduk. Suara itu tidak seharusnya ada, tetapi ia ada. Tidak seharusnya terdengar, tetapi ia terdengar.

Ia memejamkan mata. Apakah itu suara dari langit? Ataukah gema azan dari masjid yang belum terendam, entah dari mana, terbawa angin di antara celah-celah hujan?

Namun separuh dirinya tahu, logika tak lagi punya tempat di tengah bencana seperti ini. Ketika manusia kehilangan pegangan, suara apa pun dapat menjadi tanda. Azan itu bisa berasal dari masjid yang masih utuh, bisa dari pengeras suara yang entah bagaimana tetap hidup, atau mungkin… hanya gema yang ditiupkan angin sebagai bentuk penghiburan.

Husaini tidak bertanya pada siapa pun. Tidak menoleh. Tidak mencari penjelasan.

Ia hanya membiarkan suara itu masuk ke dalam dadanya seperti cahaya samar yang menembus kabut. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan, hanya satu hal yang pasti: ia merinding, bukan karena takut, tetapi karena merasa dipanggil pulang.

Dalam gelap pekat, di antara arus yang terus menghantam tubuhnya, ia mengangkat wajah sedikit. Percikan arus deras dan hujan menetes ke matanya. Suara azan itu semakin memudar, seperti ditarik kembali ke tempat asalnya.

Namun sebelum hilang sepenuhnya, Husaini sempat berbisik dalam hati:

“Jika ini suara dari bumi, aku bersyukur. Jika ini suara dari langit… maka jangan biarkan aku tersesat.”

Lalu Husaini melakukan shalat Isya.

Ketika salam terakhir selesai, ia membuka mata perlahan. Cahaya redup memantul di genangan air, menimbulkan pantulan kuning keemasan seperti pendar lilin yang hampir padam. Dunia masih gelap, hujan masih turun, banjir masih mengamuk, tetapi ada sesuatu yang hangat mengalir dari dadanya.

Di tengah banjir yang menelan Aceh Utara, shalat itu menjadi satu-satunya hal yang tetap tegak di hati Husaini seperti tiang yang ia peluk, tetapi jauh lebih kokoh, lebih kuat, dan tak akan pernah hanyut.

Malam itu, meski dunia dipenuhi kegelapan dan suara-suara kehilangan, Husaini menemukan setitik cahaya yang membuatnya tetap bertahan untuk hari berikutnya. Shalat isyarat itu menjadi jangkar jiwanya, penjaga terakhir dari kewarasan dan harapan.

Dalam gelap yang pekat itu, Husaini memejamkan mata. Tangannya tak sanggup terangkat, tubuhnya tak mampu bergerak banyak, namun hatinya terbuka selebar-lebarnya. Di tengah gemuruh air dan detak jantung yang tidak teratur, ia mulai berdoa dalam diam, doa yang hanya didengar oleh Tuhan dan dirinya sendiri.

“Ya Allah…
Engkau tahu aku tidak punya apa-apa lagi malam ini.
Kaki tidak berpijak, tangan tidak kuat, pikiranku mulai kabur,
tapi aku masih memegang-Mu.
Aku mohon… selamatkan aku dari malam yang gelap dan air yang tak mengenal belas kasihan ini. Jika Engkau izinkan aku hidup, akan aku qadha setiap shalat yang tertinggal,
akan aku perbaiki semua kelalaian yang selama ini aku anggap sepele,
akan aku jaga waktu-waktu-Mu seperti aku menjaga tiang ini sekarang erat, tak ingin lepas, tak ingin tergelincir lagi.”

Husaini menelan ludah, rasanya kelat bercampur takut. Doanya berlanjut, makin lirih, makin dalam.

“Dan jika malam ini adalah garis takdirku, jika ini adalah perjalanan terakhirku di dunia,
maka aku mohon…
ampunilah aku, ya Allah.
Aku datang dalam keadaan lemah, dalam keadaan basah dan takut, tapi Engkau tahu aku datang dengan hati yang mengharap.”

“Jangan biarkan aku tersesat dalam air yang gelap ini.
Jangan biarkan aku pergi tanpa Engkau memandangku dengan kasih. Jika hidup… selamatkanlah.
Jika mati… ampunilah.
Karena tiada tempat kembali selain kepada-Mu.”

Doa itu menggema dalam dirinya bukan sebagai rangkaian kata yang disusun rapi, tetapi sebagai jeritan jiwa yang paling jujur. Dan ketika ia membuka mata, hujan masih turun deras, arus masih menghantam tubuhnya, tetapi ada sesuatu yang terasa lebih ringan di dada. Seperti sebuah tangan yang tak terlihat memegangnya dari dalam, agar ia tidak runtuh.

Lalu, Husaini teringat keluarga, terutama si bungsu, anak laki-laki yang wajahnya selalu muncul setiap kali ia hampir menyerah. Senyum polos itu seolah memanggilnya pulang, memintanya bertahan sedikit lagi. Dalam desau angin dan deras arus, Husaini berbisik dalam hati bahwa ia harus hidup bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk anak itu, untuk keluarganya yang menunggu dengan cemas tanpa kabar.

Penulis : Zaman Huri
Sumber : Husaini