Berita  

Aceh Utara Bangkit? Antara Visi Besar dan Kenyataan yang Diterjang Arus

Editorial

(Dok/ Lentera)

Bupati Ayahwa–Panyang belum genap setahun memimpin Aceh Utara ketika banjir dahsyat pada penghujung 2025 datang sebagai ujian terbesar dari semua janji dan visi yang selama ini dikumandangkan, Aceh Utara Bangkit. Sebuah visi yang dibawa ke podium demi podium, disampaikan dalam musyawarah, rapat dinas, bahkan acara-acara keagamaan. Namun, semua retorika itu kini harus berhadapan dengan kenyataan yang jauh lebih keras, lebih pahit, dan lebih sulit ditelan air bah yang menenggelamkan kabupaten ini hingga ke titik yang bahkan disebut dampaknya melampaui dahsyatnya tsunami.

Sejak 22 November, Aceh Utara nyaris tidak mengenali dirinya sendiri. Dari 27 kecamatan, hanya dua yang tidak sepenuhnya terendam. Sisanya luluh lantak. Data dari Pusat Informasi Posko Bencana Banjir Aceh Utara per 7 Desember 2025 memperlihatkan skala tragedi yang sulit dipercaya. 646 gampong terdampak, 109.090 KK dan 369.363 jiwa terendam, 83.836 KK mengungsi, 299.508 jiwa hidup dalam ketidakpastian. Korban meninggal 138 orang, hilang 14, dan luka-luka 917. Dalam 483 lokasi pengungsian, kelompok rentan, balita, lansia, ibu hamil, penyandang disabilitas menghadapi risiko berlapis: dingin, penyakit, kekurangan pangan, dan trauma.

Kerusakan infrastruktur yang dirilis pada 3 November 2025 memperparah gambaran itu. 106 ruas jalan hancur, 12 irigasi lumpuh, 66 tanggul jebol, 37 jembatan putus, 30 titik longsor. Sektor pendidikan pun tumbang, 369 sekolah terdampak, 261 rusak berat. Ribuan ruang belajar porak-poranda, 27.520 buku pelajaran hilang. Masjid dan meunasah rusak, dayah-dayah kehilangan kitab dan bangunan. Kita tidak sedang berbicara tentang perbaikan harian. Kita berbicara tentang rekonstruksi bertahun-tahun.

Pertanyaannya, berapa lama Aceh Utara butuh untuk bangkit?
Dan pertanyaan yang lebih getir, mungkinkah bangkit?

Karena faktanya, Aceh Utara tidak sedang baik-baik saja. Aparatur yang seharusnya menjadi garda terdepan pun tersandung. Kepala BPBD yang baru saja dilantik mengambil cuti karena sakit di tengah bencana terbesar sejak tsunami. Kabar liar menyebut ia mengundurkan diri. Jika benar, publik berhak bertanya, apa yang sebenarnya terjadi ketika rakyat sedang berjuang menyelamatkan hidup?

Belum reda itu, muncul isu dugaan anggota DPRK menjarah sembako bantuan demi pencitraan politik. Benar atau tidak, isu semacam itu cukup untuk menggerus sisa-sisa kepercayaan publik. Besok atau lusa, bukan tidak mungkin isu serupa bermunculan.

Dalam kondisi seperti ini, wajar jika masyarakat mulai ragu, apakah visi Aceh Utara Bangkit hanya slogan manis, atau benar-benar kompas arah pembangunan?. Dengan SDM terbatas, anggaran cekak, kerusakan raksasa yang membutuhkan dana triliunan, dan fakta bahwa banjir Sumatra tidak ditetapkan sebagai tanggap darurat nasional, lalu bagaimana Aceh Utara bisa menopang mimpi kebangkitannya?

Bangkit memang mungkin. Tetapi tidak dengan cara biasa-biasa saja. Tidak dengan birokrasi lamban. Tidak dengan elit yang sibuk tampil kinclong ketika rakyat bergulat dengan lumpur. Kebangkitan Aceh Utara menuntut keberanian pemerintah daerah untuk melihat dirinya sendiri tanpa kaca buram.

Lalu, langkah apa yang harus ditempuh?

Jawabannya dimulai dari keberanian paling dasar, mengakui bahwa Aceh Utara terluka dalam-dalam. Pemerintah harus menyiapkan peta jalan pemulihan yang terang, terukur, dan diumumkan secara terbuka. Masyarakat berhak tahu apa yang dikerjakan dalam 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, hingga 5 tahun ke depan. Tanpa peta jalan, visi hanyalah poster yang memudar.

Setelah itu, Aceh Utara memerlukan pusat komando bencana yang benar-benar bekerja. Sebuah ruang yang tidak hanya dihiasi spanduk, tetapi hidup 24 jam, mengalirkan data real-time, mengkoordinasikan semua dinas tanpa saling tunggu. Bencana tidak pernah menunggu tanda tangan, maka birokrasi pun tidak boleh menunggu.

Langkah berikutnya adalah yang paling rawan tetapi paling vital, transparansi total. Tidak ada kabupaten yang bisa bangkit dengan kepercayaan publik yang patah. Setiap bantuan yang masuk, beras, tenda, uang, logistik medis harus diumumkan secara terbuka. Warga harus bisa memeriksa apa yang mereka dapat dan apa yang belum mereka terima. Di saat kesulitan seperti ini, kejelasan adalah oksigen.

Dan untuk memastikan mesin penanganan bencana hidup, pemerintah harus merapikan tubuhnya sendiri. Reformasi BPBD dan dinas teknis tidak bisa ditunda. Penempatan jabatan harus berdasarkan kompetensi, bukan kompromi.

Kemudian, di saat banjir masih menyisakan jejaknya Aceh Utara harus melakukan assessment kerusakan secara cepat dan rinci. Tanpa data yang benar, anggaran akan salah sasaran, waktu habis, dan harapan rakyat terbunuh dua kali.

Tetapi Aceh Utara tidak mungkin bangkit sendirian. APBK terlalu kecil. Provinsi pun tidak akan mampu menanggung semuanya. Karena itu, Pemkab harus melobi pemerintah pusat dan BNPB secara agresif dan terstruktur. Proposal rencana aksi harus kuat, berbasis data, dan meyakinkan.

Setelah itu, Aceh Utara harus memulihkan infrastrukturnya dengan urutan prioritas yang jelas. Tanggul, akses jalan, jembatan, sekolah, puskesmas, rumah ibadah, dayah semua harus dipulihkan lewat skala prioritas, bukan siapa yang paling keras meminta.

Dan karena banjir besar akan datang lagi, Aceh Utara membutuhkan barak pengungsian permanen. Tempat yang aman, tinggi, dan mampu menampung ribuan jiwa tanpa menunggu tenda kiriman.

Tetapi kebangkitan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Masyarakat sipil harus dilibatkan, relawan, mahasiswa, organisasi dayah, komunitas muda, kampus. Mereka bukan pengganggu, mereka adalah jantung solidaritas Aceh Utara.

Lalu ada keputusan paling sulit, penataan ruang, relokasi zona merah, rehabilitasi DAS, dan perbaikan ekosistem sungai dari hulu hingga hilir. Tanpa itu, Aceh Utara hanya akan memperbaiki rumah-rumah yang akan kembali rusak pada musim hujan berikutnya.

Di atas semua langkah teknis itu, ada satu hal yang tidak kalah penting, akuntabilitas politik. DPRK harus menjadi mata rakyat, bukan tangan yang mengambil jatah rakyat. Dugaan penyelewengan bantuan harus diselidiki sampai terang, agar tidak menjadi racun yang makin menyebar.

Dan terakhir, di balik meja kerja para ASN, harus lahir budaya kerja baru, budaya kesiapsiagaan. Tidak boleh lagi ada kelambanan yang membuat warga merasa pemerintah datang terlambat.

Akhirnya, kebangkitan Aceh Utara bukanlah slogan yang dipasang di baliho. Ia adalah kerja panjang, melelahkan, dan penuh luka. Tetapi ia mungkin, sangat mungkin jika langkah-langkah itu ditempuh dengan keberanian.

Karena slogan tidak menghentikan banjir. Janji tidak memperbaiki jembatan. Visi tidak mengeringkan tangis anak-anak di posko pengungsian.

Hanya tindakan nyata yang bisa.

Kini, di tengah deru mesin mobil bantuan dan jeritan pengungsi yang masih menggema di malam-malam basah, satu pertanyaan masih menggantung. Mungkinkah Aceh Utara bangkit setelah diterjang banjir?. Atau justru akan tenggelam dalam arus yang lebih berbahaya: ketidakmampuan mengelola krisisnya sendiri?

Waktu, komitmen, dan keberanian pemerintah daerah akan menjadi jawabannya.