Berita  

Bagian 6 Perjuangan ASN: Menembus Banjir, Menantang Takdir

Malam Terakhir Fitria

(Foto/ Dok. Lentera)

Malam itu seolah benar-benar menutup mata dari segala belas kasihan. Setelah kehilangan Fitria, arus tidak menunjukkan tanda-tanda melemah. Hujan turun lebih deras, seakan langit ikut runtuh. Air terus naik, menghantam apa saja yang berani berdiri di jalurnya. Suara gemuruhnya seperti ribuan drum yang ditabuh bersamaan, membuat siapa pun yang mendengarnya merasa kecil dan tak berdaya. Namun bagi mereka yang masih bertahan, menyerah bukanlah pilihan.

Detik ketika tubuh Fitria tersambar arus dan menghilang menjadi detik yang menghantui semua orang. Tidak ada waktu untuk menenangkan atau meratap. Arus begitu cepat hingga satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah bergerak. Iskandar yang tubuhnya kecil hampir terhuyung beberapa kali. Husaini terseret beberapa langkah namun kembali stabil. Mereka tak punya kemewahan untuk berhenti atau kehilangan fokus. Satu kelengahan saja bisa membuat mereka menyusul jejak Fitria.

Dalam kekacauan itu, suara Sulaiman memecah gelap malam. “Husaini! Bacut leungah tanyoe mate!” teriaknya, seakan mengembalikan kesadaran mereka dalam sekejap. Arus tidak menunggu siapa pun untuk pulih. Mereka harus bergerak sekarang, atau hilang.

Ketiganya merapat, mencari jalur paling aman untuk mencapai dinding kios kayu tersisa milik pimpinan Dayah Sirajul Akhlaq. Arus menghantam pinggang dan dada mereka, membuat tubuh berputar sedikit jika tidak cepat menahan langkah. Sampah, pecahan kayu, dan serpihan seng menghantam air di sekitar mereka, menciptakan suara benturan yang menegangkan.

Iskandar yang berada paling depan mencapai dinding lebih dulu. Napasnya terengah, kedua tangannya meraih kayu yang tersisa, berusaha menstabilkan tubuh di tengah arus yang masih menyeret. Di belakangnya, Husaini menyusul. Ia hampir hilang keseimbangan ketika sepotong balok menghantam air dekat kakinya, namun berhasil mencapai dinding dan memegang Iskandar.

Sulaiman berada paling belakang, memastikan tidak ada satu pun dari mereka yang tertinggal atau terseret. Ia beberapa kali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada pecahan besar yang mengancam, lalu mendorong dirinya sendiri melawan arus. Saat ia hendak meraih dinding, arus besar menghantam dari samping dan hampir menariknya pergi.

Setelah berjuang keras, mereka bertiga mencapai teras ruko tempat yang sebelumnya tampak begitu dekat namun terasa mustahil diraih. Meskipun air masih mengalir deras, arus tidak lagi sekuat sebelumnya. Mereka memanfaatkan kesempatan itu secepatnya masuk ke dalam ruko.

Di dalam, lantai masih tergenang air setinggi lutut, namun jauh lebih aman dibandingkan di luar. Pemilik ruko, pimpinan dayah sirajul akhlaq, Tgk. Hanif bersama istrinya dan anak kecil yang digendongnya, menyambut mereka dengan wajah penuh kelegaan. Mereka semua berbagi ruang dalam kondisi sempit. Istrinya duduk di atas sepeda motor agar tidak terus terendam, sementara Tgk. Subki duduk di kursi menjaga anaknya agar tetap hangat.

Husaini dan Sulaiman kemudian mencari tempat di mana kaki mereka tidak terus berada dalam air. Mereka menemukan tangga menuju lantai dua yang belum selesai dibangun. Atap belum terpasang, dan air hujan terus menetes dari bagian atas, namun ada sedikit sudut tangga yang terlindung oleh pijakan di atasnya.

Keduanya naik perlahan, memastikan setiap langkah aman. Setelah menemukan sudut kecil yang kering, mereka duduk bersebelahan. Ruang itu begitu sempit hingga bahu mereka saling bersentuhan. Namun di tempat sempit itulah mereka bisa beristirahat. Iskandar memilih tetap di bawah bersama pemilik ruko, menjaga agar tidak terlalu sesak di tangga.

Tak jauh dari mereka, dua lelaki yang sebelumnya terseret arus dan bergantung pada pohon mangga kini memikul tugas yang tidak pernah mereka duga, menjaga jenazah Fitria.

Setelah berhasil menarik tubuh perempuan itu dari arus, keduanya menatap satu sama lain dalam diam. Mereka tidak mengenal Fitria. Mereka tidak tahu siapa keluarganya, dari instansi mana dia datang. Namun malam itu, rasa kemanusiaan mengalahkan semua perbedaan.

Arus terlalu kuat untuk membawa jenazah ke tempat aman. Tetapi membiarkannya hanyut? Tidak. Mereka menolak. Dengan tangan yang gemetar, mereka menarik kayu-kayu peranca bangunan, balok dan papan yang tersangkut di sekitar pohon.

Mereka menyusun balok-balok itu di antara cabang mangga, menahannya dengan pecahan rangka bangunan yang hanyut. Triplek bekas yang diseret arus mereka bentangkan sebagai alas. Hasilnya adalah semacam dipan darurat, sebuah panggung kecil yang terangkat dari permukaan banjir.

Dengan pelan dan penuh hormat, mereka menaikkan jenazah Fitria ke atasnya.

Hujan terus mengguyur tubuh perempuan itu. Cahaya lampu panel surya dari rumah seberang hanya memberi bayangan redup, tetapi cukup untuk memastikan bahwa Fitria tidak kembali hilang dalam gelap.

Di atas dipan kayu itulah jenazahnya terbaring malam itu, dijaga oleh dua lelaki yang tak ia kenal namun diberi kesempatan Tuhan untuk menjaga malam terakhirnya.

Berlanjut ke bagian 7

Penulis : Zaman Huri