Pukul delapan pagi, Kamis, 11 Desember 2025. Di balik kaca besar Bandara Internasional Kualanamu, dua sosok berjaket sederhana melangkah keluar dari pintu kedatangan. Wajah mereka lelah, tetapi mata menyimpan tekad yang sulit disembunyikan. Mereka adalah dr. Rudolf dan dr. Siti Miniarti, dua dokter dari Bekasi yang menempuh perjalanan panjang bukan untuk liburan, melainkan untuk sebuah misi kemanusiaan: menyambung kembali harapan warga yang terdampak bencana di Aceh.
Penerbangan pagi itu membawa lebih dari sekadar koper. Bersama mereka ikut serta doa para donatur, kepedulian rekan sejawat, dan keyakinan bahwa jarak tak pernah mampu membatasi empati. Dari Jakarta, mereka telah menyiapkan obat-obatan dasar, perlengkapan medis, hingga kebutuhan darurat lain. Namun setibanya di Medan, misi itu belum usai. Keduanya kembali menyusuri apotek dan toko alat kesehatan, memastikan kebutuhan di lapangan benar-benar terpenuhi.
Di Kualanamu, mereka tidak sendiri. Ahmad Sani dan Suci Rama telah menunggu. Dua nama yang mungkin tak tercatat di baliho besar, tetapi jejaknya hidup di banyak sudut desa dan posko pengungsian. Pertemuan itu bukan sekadar temu kangen atau seremoni singkat, melainkan awal dari kolaborasi panjang lintas daerah, bahkan lintas pulau demi satu tujuan pemulihan korban bencana.
Rombongan kemudian bergerak menuju Kabupaten Aceh Tamiang. Perjalanan darat yang panjang dilalui dengan obrolan ringan tentang kondisi lapangan, kebutuhan warga, dan skenario pelayanan kesehatan yang akan dilakukan. Jumat, 12 Desember 2025, Masjid Darussalam Simpang Opak menjadi pusat kegiatan. Sejak pagi, warga berdatangan. Ada ibu-ibu yang menggendong balita, lansia yang berjalan tertatih, hingga anak-anak yang masih menyimpan trauma banjir di wajah mereka.
Di teras masjid, antrean pengobatan mengular. dr. Rudolf dengan sabar memeriksa satu per satu pasien, sementara dr. Siti Miniarti menenangkan anak-anak yang takut melihat alat medis. Keluhan beragam: infeksi kulit, demam, batuk, hingga penyakit kronis yang kambuh akibat pengungsian berkepanjangan. Semua dilayani tanpa memandang apa pun, tanpa biaya, tanpa syarat.
Tak hanya pengobatan. Di halaman masjid, sebuah pompa air bersih dipasang. Satu unit mesin genset disiapkan untuk memastikan pasokan listrik darurat. Sembako dibagikan dengan tertib, beras, minyak, gula, dan kebutuhan pokok lainnya. Bagi warga Simpang Opak, bantuan itu bukan sekadar barang, melainkan tanda bahwa mereka tidak sendirian menghadapi bencana.
Perjalanan belum selesai. Subuh Sabtu, 13 Desember 2025, rombongan tiba di Kota Lhokseumawe. Langit masih gelap ketika kendaraan berhenti, tetapi agenda sudah menunggu. Pagi harinya, mereka bergerak menuju Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, wilayah yang terdampak cukup parah dan masih menyisakan banyak pengungsi.
Pelayanan kesehatan dipusatkan untuk pengungsi dari Desa Rumoh Rayeuk. Di tenda-tenda darurat dan rumah warga yang dijadikan tempat singgah, para pengungsi menerima pengobatan dan sembako. Tangis anak-anak, keluhan para orang tua, dan cerita kehilangan bercampur menjadi satu. Di tengah suasana itu, kehadiran para relawan dan dokter menjadi penguat batin.
Pengobatan juga dilakukan di Desa Riseh Teungoh Kecamatan Sawang, serta Desa Gelumpang Bungkuk, Kecamatan Baktiya. Akses yang terbatas dan kondisi jalan yang belum sepenuhnya pulih tidak menyurutkan langkah. Di setiap desa, pendekatan yang sama dilakukan: mendengar lebih dulu, lalu mengobati. Karena bagi korban bencana, didengar sering kali sama pentingnya dengan disembuhkan.
Untuk Desa Riseh Tengah dan Desa Gunci, Dusun Lhok Pungki, bantuan diperluas. Masing-masing desa menerima satu unit pompa air dan satu unit genset. Air bersih dan listrik menjadi kebutuhan mendesak pascabencana dua hal yang kerap luput dari perhatian, tetapi sangat menentukan kualitas hidup warga di masa pemulihan.
dr. Rudolf dan dr. Siti Miniarti bukan nama baru dalam kegiatan sosial. Keduanya merupakan anggota PD UI Komisariat Bekasi. Dalam misi ini, mereka hadir mewakili para donatur yang mempercayakan amanah kemanusiaan kepada mereka. Begitu pula Ahmad Sani dan Suci Rama, yang menyalurkan bantuan mewakili para donatur dari Aceh dan luar Aceh. Kolaborasi ini menjadi bukti bahwa solidaritas tidak mengenal batas geografis.
Di sela-sela kegiatan, dr. Siti sempat berkata pelan, “Kami hanya perpanjangan tangan. Yang sesungguhnya bekerja adalah rasa kemanusiaan.” Kalimat sederhana itu seolah merangkum seluruh perjalanan. Tidak ada klaim heroik, tidak ada panggung megah, yang ada hanyalah kerja senyap dan ketulusan.
Bagi warga yang menerima bantuan, mungkin mereka tak akan mengingat detail nama atau asal para relawan. Namun mereka akan mengingat rasa lega saat nyeri berkurang, saat air bersih kembali mengalir, saat lampu menyala di malam hari. Dan mungkin, di sanalah makna kolaborasi kemanusiaan sesungguhnya, hadir tepat ketika dibutuhkan, lalu pergi tanpa meninggalkan jarak.
Misi ini memang telah usai dalam hitungan hari. Tetapi dampaknya tidak berhenti di situ. Ia hidup dalam sumur yang kembali berair, dalam anak-anak yang kembali tersenyum, dan dalam keyakinan bahwa di tengah bencana, selalu ada tangan-tangan yang bersedia saling menggenggam.
Dari Bekasi hingga Aceh, dari bandara hingga desa-desa terdampak, kolaborasi ini menjelma jembatan harapan. Sebuah pengingat bahwa pemulihan pascabencana bukan hanya tentang membangun kembali rumah dan infrastruktur, melainkan juga tentang merawat kemanusiaan bersama, tanpa sekat, tanpa pamrih.
